KOMPAS.com — Praktik jual-beli kredit karbon di Indonesia diselenggarakan melalui Sistem Registri Nasional Pengendalian Perubahan Iklim (SRN-PPI). Kemudian, kredit ini dilelang kepada publik melalui Bursa Efek Indonesia (IDX) Carbon sebagai penyelenggara bursa karbon.
Saat ini, transaksi kredit karbon di SRN-PPI dan IDX Carbon hanya dapat dilakukan antar-entitas yang berada di Indonesia.
Hal itu dilakukan karena adanya perbedaan standar metodologi dan jenis aksi mitigasi emisi yang diakui di antara berbagai negara. Selain itu, pembatasan tersebut juga dilakukan untuk mencapai target nationally determined contribution (NDC) Indonesia.
Ke depan, pembatasan transaksi antarnegara itu akan berubah setelah berlangsungnya Conference of the Parties (COP) ke-29 di Baku, Azerbaijan. Konferensi yang digelar pada November 2024 ini telah mengonfirmasi rencana pengembangan registry tingkat global, melalui penyeragaman metodologi dan jenis aksi mitigasi yang diakui.
Melalui penyeragaman itu, kredit karbon yang terdaftar di SRN-PPI dan IDX Carbon diperkirakan dapat diperdagangkan kepada pembeli internasional, dengan syarat registry karbon di Indonesia harus bisa menyelaraskan standarnya dengan standar global.
Perdagangan karbon lintas negara berpotensi meningkatkan permintaan kredit karbon dari entitas internasional, yang pada akhirnya mendorong potensi kenaikan harga kredit karbon di Indonesia.
Saat ini, harga karbon di Indonesia masih sangat rendah jika dibandingkan dengan negara-negara lain. Oleh karena itu, Indonesia memiliki potensi untuk menjadi salah satu pilihan utama dalam pengadaan kredit karbon untuk pasar internasional.
Berdasarkan data IDX Carbon per Oktober 2024, harga satu ton karbon (tCO2e) adalah sebesar Rp 58.800. Angka tersebut sangat kecil jika dibandingkan dengan harga satu ton karbon di pasar karbon China sebesar 103 yuan atau sekitar Rp 225.000 per Oktober 2024.
Bahkan, angka itu memiliki perbedaan yang sangat jauh jika dibandingkan dengan pasar karbon Uni Eropa per Oktober 2024 dengan harga 65 euro atau sekitar Rp 1,1 juta.
Climate Change and Sustainability Services Leader Ernst and Young (EY) Indonesia Albidin Linda menilai, potensi peningkatan harga karbon domestik merupakan peluang sekaligus tantangan bagi pelaku usaha di Indonesia.
“Pembukaan perdagangan karbon lintas negara memberikan keuntungan bagi pelaku usaha dengan strategi rendah karbon yang kuat, tetapi dapat menjadi beban bagi pelaku usaha yang masih berada di tahap awal merancang strategi tersebut,” ujar Albidin dalam keterangan yang diterima Kompas.com, Jumat (6/12/2024).
Lebih lanjut, ia menjelaskan, pelaku usaha dengan strategi rendah karbon yang kuat akan memiliki berbagai aksi mitigasi yang dapat diperdagangkan pada pasar karbon sehingga berpotensi memperoleh margin dari peningkatan harga tersebut.
Sebaliknya, pelaku usaha dengan profil emisi tinggi mungkin akan melampaui Batas Atas Emisi (BAE) sehingga membutuhkan pengadaan kredit karbon yang mengalami kenaikan harga.
Peraturan kewajiban pelaporan emisi di Indonesia saat ini masih cenderung minim. Peraturan Menteri (Permen) Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 16 Tahun 2022 hanya mewajibkan sektor ketenagalistrikan untuk mengadopsi skema BAE dan melaporkan emisinya.
Selain itu, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nomor 51 Tahun 2017 mewajibkan pelaporan bagi perusahaan terbuka, perusahaan publik, dan lembaga jasa keuangan apabila emisi diidentifikasi sebagai topik material bagi perusahaan tersebut. Sementara itu, sektor dan lembaga lain belum dikenai kewajiban serupa.
Hal itu sangat disayangkan karena di negara tetangga Singapura, semua pelaku usaha di seluruh sektor dengan emisi di atas 2.500 tCO2e per tahun wajib untuk melaporkan emisinya berdasarkan Peraturan National Environment Agency (NEA).
Hasil pertemuan COP29 yang membuka peluang perdagangan karbon dapat menjadi salah satu urgensi Pemerintah Indonesia untuk mewajibkan pelaporan emisi di berbagai sektor, mengadakan penerapan pungutan atas karbon, dan mempercepat infrastruktur perdagangan karbon.
“Pengukuran emisi harus lebih diperhatikan karena hal itu merupakan langkah awal dalam mewujudkan strategi rendah karbon sebagai aksi mitigasi perubahan iklim bagi para pelaku usaha,” Kata Albidin.
Lebih lanjut, Albidin mengatakan bahwa perlu ada komunikasi yang konsisten dengan kementerian sektoral untuk mengidentifikasi waktu implementasi skema BAE sektoral.
Selain itu, lanjutnya, urgensi bagi pelaku usaha di Indonesia untuk segera berfokus pada transisi rendah karbon juga perlu ditingkatkan.
“Masih ada kesempatan bagi pelaku usaha untuk mempersiapkan strategi rendah karbon guna menyambut perdagangan karbon lintas negara ini,” tutur Albidin.
Ia mengatakan, kunci dari persiapan strategi rendah karbon di antaranya adalah dengan pengukuran profil emisi yang akurat, rencana penurunan emisi yang realistis, dan ketersediaan pembiayaan rencana penurunan emisi.
“Persiapan yang dilakukan akan sangat menentukan apakah penerapan nilai ekonomi karbon dapat menjadi peluang yang menguntungkan atau justru menjadi risiko bagi pelaku usaha di Indonesia,” jelas Albidin.
Dapatkan informasi lebih lanjut mengenai Climate Change and Sustainability Services EY Indonesia yang bisa di akses melalui tautan berikut.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya