IFRS S1 dan S2 Diberlakukan, Indonesia Masuki Era Baru Pelaporan Keberlanjutan

Kompas.com - 22/11/2024, 16:54 WIB
Hotria Mariana,
Sri Noviyanti

Tim Redaksi

KOMPAS.com – Dunia pelaporan keberlanjutan telah memasuki era baru dengan pemberlakuan dua Standar Pelaporan Keuangan Internasional (International Financial Reporting Standards/IFRS) Keberlanjutan sejak 1 Januari 2024.

Kedua standar tersebut, yaitu IFRS S1 dan IFRS S2, kini menjadi pedoman penting bagi perusahaan dalam menyusun laporan keberlanjutan yang relevan bagi investor dan pemangku kepentingan lainnya.

Adapun IFRS S1 memuat tentang Persyaratan Umum untuk Pengungkapan Informasi Keuangan terkait Keberlanjutan dan IFRS S2 tentang Pengungkapan terkait Iklim. Keduanya diterbitkan oleh Dewan Standar Keberlanjutan Internasional (International Sustainability Standards Board/ISSB) pada 26 Juni 2023.

Baca juga: IFRS Foundation Terbitkan Panduan soal Keberlanjutan dalam Laporan Keuangan

Baik IFRS S1 maupun IFRS S2, dirancang untuk mengintegrasikan informasi keberlanjutan dengan laporan keuangan. Fokus utamanya adalah pengungkapan tata kelola, strategi, manajemen risiko, serta target dan metrik keberlanjutan perusahaan.

Investor menjadi pusat perhatian pada skema pelaporan ini, karena informasi keberlanjutan diyakini mampu memengaruhi nilai perusahaan dalam jangka pendek hingga panjang.

Hal itu berbeda dari pendekatan pelaporan keberlanjutan sebelumnya yang cenderung mencakup semua informasi dampak ekonomi, sosial, lingkungan, dan tata kelola tanpa prioritas jelas terhadap nilai perusahaan.

Progres adopsi di Indonesia

Di Indonesia, IFRS S1 dan S2 sedang dalam proses diadopsi menjadi Pernyataan Standar Pengungkapan Keberlanjutan (PSPK) oleh Dewan Standar Keberlanjutan (DSK) Ikatan Akuntan Indonesia (IAI). Proses adopsi ini mendapat dukungan penuh dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Baca juga: 4 Jenis Laporan Keuangan Menurut International Financial Reporting Standards (IFRS)

Dalam seminar "Journeys Toward the Adoption of IFRS S1 dan S2 di Indonesia" yang digelar OJK bersama Bank Dunia dan IAI pada September 2024, pentingnya sinergi antara regulator dan DSK IAI dalam mengintegrasikan IFRS S1 dan S2 dengan peraturan lokal menjadi salah satu poin utama.

Penerapan IFRS S1 dan S2 akan dilakukan secara bertahap pada lembaga jasa keuangan, emiten, dan perusahaan publik. OJK juga tengah menyesuaikan Peraturan OJK Nomor 51/POJK.03/2017 untuk memastikan keselarasan regulasi dengan standar internasional ini.

Meski begitu, bank dan lembaga jasa keuangan menghadapi tantangan besar dalam menerapkan IFRS S1 dan S2. Tantangannya antara lain integrasi risiko iklim ke dalam tata kelola dan manajemen risiko.

Proses tersebut pun membutuhkan pengumpulan dan analisis data dalam jumlah besar dari berbagai sumber yang dinilai kompleks.

Langkah strategis untuk perusahaan

Menanggapi hal tersebut, EY Indonesia Climate Change and Sustainability Services Leader Albidin Linda menyarankan agar perusahaan segera menyusun kerangka kerja untuk mengidentifikasi risiko dan peluang keberlanjutan yang relevan.

Hal tersebut mencakup identifikasi risiko dan peluang yang dapat memengaruhi prospek perusahaan, serta informasi material yang berkaitan dengan keberlanjutan.

"Perusahaan perlu menyusun kerangka kerja untuk mengidentifikasi risiko dan peluang terkait keberlanjutan yang relevan bagi perusahaan. Perusahaan juga perlu mengidentifikasi informasi material tentang risiko dan peluang yang telah diidentifikasi," ujar Albidin dalam keterangan tertulis yang diterima Kompas.com, Kamis (21/11/2024).

Selain itu, perusahaan juga harus melakukan analisis kesenjangan antara praktik pengungkapan saat ini dengan ketentuan IFRS S1 dan S2. Langkah ini diperlukan untuk menentukan perbaikan yang dibutuhkan berdasarkan kondisi pengungkapan keberlanjutan perusahaan saat ini.

"Rencana tindakan yang dihasilkan dari analisis kesenjangan harus mencakup pengembangan basis data terintegrasi serta upaya mendapatkan laporan keyakinan (asurans) dari pihak ketiga," tambah Albidin.

Melalui pendekatan tersebut, Albidin menilai, perusahaan dapat memperkuat integrasi keberlanjutan dalam proses bisnis sekaligus meningkatkan kualitas pelaporan kepada pemangku kepentingan.

Selain itu, menurutnya, Indonesia pun berpotensi menjadi salah satu negara yang memimpin pengungkapan keberlanjutan di kawasan Asia.

“Indonesia bisa menciptakan standar pelaporan yang tidak hanya selaras dengan praktik global, tetapi juga memberikan gambaran komprehensif tentang kinerja perusahaan dalam menghadapi tantangan keberlanjutan di masa depan,” ujarnya.

 

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau