Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ancaman Perubahan Iklim Makin Nyata, Subsidi Energi Fosil Malah Pecahkan Rekor

Kompas.com - 28/08/2023, 12:00 WIB
Danur Lambang Pristiandaru

Penulis

KOMPAS.com – Di tengah upaya menurunkan ketergantungan terhadap bahan bakar fosil untuk membatasi perubahan iklim, subsidi yang dikucurkan untuk energi tersebut secara global justru memecahkan rekor pada 2022.

International Monetary Fund (IMF) melaporkan bahwa subsidi yang digelontorkan untuk “mempermurah” bahan bakar fosil mencapai 7 triliun dollar AS atau sekitar Rp 107 kuadriliun pada tahun lalu di seluruh dunia.

Laporan tersebut muncul ketika ancaman perubahan iklim semakin nyata dan Organisasi Meteorologi Dunia atau WMO melaporkan bahwa Juli tahun ini adalah bulan terpanas sejak pencatatan dilakukan.

Baca juga: Pembangkit Listrik EBT Baru Naik 91 MW, Energi Fosil Bertambah 900 MW

Di satu sisi, dunia juga sedang berusaha membatasi kenaikan suhu global di atas 1,5 derajat celsius sesuai Perjanjian Paris.

Besarnya subsidi tersebut diberikan untuk memangkas harga bahan bakar di level konsumen dan dunia usaha saat harga energi melambung karena invasi Rusia ke Ukraina serta pemulihan ekonomi global dari pandemi.

IMF menyebutkan, jumlah subsidi yang dikeluarkan untuk bahan bakar fosil tahun lalu lebih besar daripada pengeluaran pemerintah di seluruh dunia setiap tahunnya untuk pendidikan yakni 4,3 persen dari pendapatan global.

Subsidi tersebut juga sekitar dua pertiga dari pengeluaran pemerintah di dunia untuk layanan kesehatan yaitu 10,9 persen.

“Subsidi minyak, batu bara, dan gas alam menyebabkan kerugian yang setara dengan 7,1 persen produk domestik bruto (PDB) global,” tulis para ekonom IMF dalam rilisnya, Kamis (24/8/2023).

Baca juga: Energi Terbarukan Dianggap Gagal Menggeser Dominasi Bahan Bakar Fosil

Selama dua tahun terakhir, subsidi untuk bahan bakar fosil meningkat sebesar 2 triliun dollar AS atau sekitar Rp 30 kuadriliun.

“Mengonsumsi bahan bakar fosil menimbulkan kerugian lingkungan yang sangat besar—terutama akibat polusi udara lokal dan kerusakan akibat pemanasan global,” tulis mereka.

“Sebagian besar subsidi bersifat implisit, karena dampak lingkungan seringkali dihitung dalam harga bahan bakar fosil, terutama batu bara dan solar,” sambung mereka.

Subsidi implisit ini diproyeksikan akan meningkat ketika negara-negara berkembang meningkatkan konsumsi bahan bakar fosil ke tingkat konsumsi negara-negara maju.

Negara-negara berkembang cenderung memiliki pembangkit listrik, pabrik, dan kendaraan dengan tingkat polusi yang lebih tinggi.

Baca juga: Kali Pertama, Investasi Energi Bersih 2023 Bakal Lampaui Minyak Fosil

Di negara-negara tersebut, populasi terpusat dan bekerja di dekat sumber polusi tersebut.

Di satu sisi, jika pemerintah menghapuskan subsidi eksplisit dan menerapkan pajak korektif, harga bahan bakar fosil akan meningkat.

“Hal ini akan menyebabkan perusahaan dan rumah tangga mempertimbangkan dampak lingkungan ketika mengambil keputusan konsumsi dan investasi,” papar ekonom IMF.

“Hasilnya adalah pengurangan emisi karbon dioksida global secara signifikan, udara yang lebih bersih, berkurangnya penyakit paru-paru dan jantung, serta lebih banyak ruang fiskal bagi pemerintah,” imbuh mereka.

Para ekonom IMF tersebut memperkirakan, penghapusan subsidi bahan bakar fosil baik secara eksplisit maupun implisit akan mencegah 1,6 juta kematian dini setiap tahunnya.

Baca juga: Aktivis Lingkungan Desak G7 Setop Pendanaan Energi Fosil

Selain itu, penghapusan subsidi juga dapat meningkatkan pendapatan pemerintah sebesar 4,4 triliun dollar AS serta memangkas emisi sesuai target untuk mencegah pemanasah global.

“Hal ini (penghapusan subsidi) juga akan mendistribusikan kembali pendapatan karena subsidi bahan bakar lebih menguntungkan rumah tangga kaya dibandingkan rumah tangga miskin,” kata para ekonom IMF.

Akan tetapi, para ekonom IMF mengakui bahwa menghapus subsidi bahan bakar bisa menjadi hal yang rumit.

Pemerintah harus merancang, mengkomunikasikan, dan melaksanakan reformasi dengan jelas dan hati-hati sebagai bagian dari paket kebijakan komprehensif yang menekankan manfaatnya.

“Sebagian dari peningkatan pendapatan harus digunakan untuk memberikan kompensasi kepada rumah tangga rentan atas kenaikan harga energi. Sisanya dapat digunakan untuk memotong pajak atas pekerjaan dan investasi serta mendanai barang-barang publik seperti pendidikan, layanan kesehatan, dan energi bersih,” ujar mereka.

“Dengan menurunnya harga energi global dan meningkatnya emisi, inilah saat yang tepat untuk menghapuskan subsidi bahan bakar fosil secara eksplisit dan implisit, demi Bumi yang lebih sehat dan berkelanjutan,” lanjut mereka.

Baca juga: Lemak Babi Bisa Diolah Jadi Bahan Bakar Pesawat dan Solar, Begini Caranya

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau