KOMPAS.com - Indonesia telah menunjukkan komitmen kuat dalam upaya menurunkan emisi karbon sebagai bagian dari agenda keberlanjutan nasional dan kontribusi terhadap kesepakatan internasional.
Salah satu langkah konkret yang diambil pemerintah adalah mendorong perusahaan-perusahaan di tanah air, khususnya perusahaan publik, untuk mengungkapkan laporan keberlanjutan mereka.
Tak hanya itu, sebagai bagian dari Presidensi G20 pada 2022, Indonesia juga berperan aktif dalam mengarahkan agenda global melalui Deklarasi Bali.
Deklarasi tersebut menyatakan dukungan para pemimpin negara anggota G20 terhadap International Sustainability Standards Board (ISSB) atau Badan Standar Pelaporan Keberlanjutan Internasional.
ISSB bertanggung jawab untuk menyusun International Financial Reporting Standards (IFRS) Sustainability Disclosure Standards atau Standar Pengungkapan Keberlanjutan.
Saat ini, ISSB telah menerbitkan dua Standar Pengungkapan Keberlanjutan, yakni Persyaratan Umum untuk Pengungkapan Informasi Keuangan terkait Keberlanjutan (IFRS S1) dan Pengungkapan terkait Iklim (IFRS S2). Keduanya dinilai punya dampak bagi pemerintah dan perusahaan.
Baca juga: IFRS S1 dan S2 Diberlakukan, Indonesia Masuki Era Baru Pelaporan Keberlanjutan.
Sebagai bukti komitmen Indonesia terhadap pelaporan keberlanjutan, Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) telah menerbitkan Sustainability Disclosure Standard Roadmap atau Peta Jalan Standar Pengungkapan Keberlanjutan (SPK) pada Senin (2/12/2024).
Dokumen itu menjadi langkah awal bagi Indonesia untuk mengadopsi pelaporan keberlanjutan sesuai standar ISSB.
Adapun isi peta jalan tersebut mencakup strategi penerapan standar, assurance untuk laporan keberlanjutan, dan pengembangan ekosistem laporan keberlanjutan.
Sementara itu, strategi penerapan SPK mencakup dua hal utama, yakni tingkat kesesuaian dan tanggal efektif standar.
Adapun tingkat kesesuaian standar merujuk pada kepatuhan terhadap ISSB Standards, yaitu IFRS S1 dan IFRS S2, yang mengatur pengungkapan informasi terkait keberlanjutan dan iklim.
Di dalamnya, SPK yang akan diterbitkan mencakup peryaratan mengenai kewajiban pengungkapan informasi terkait iklim, sedangkan informasi keberlanjutan lainnya bersifat sukarela dengan mempertimbangkan kesiapan perusahaan di Indonesia.
Pemberian tanggal efektif standar bertujuan untuk memberikan waktu yang cukup bagi perusahaan untuk mempersiapkan laporan yang sesuai. Penentuan tanggal efektif didasarkan pada kompleksitas aturan dan kondisi ekosistem keberlanjutan di Indonesia.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, SPK direncanakan berlaku efektif mulai 1 Januari 2027 dengan opsi untuk menerapkan lebih awal.
Saat SPK diberlakukan, perusahaan wajib menyusun laporan keberlanjutan sesuai standar untuk periode pelaporan 2027 yang akan dipublikasikan awal tahun 2028.
Menurut IAI, urgensi penerapan SPK saat ini adalah untuk perusahaan terdaftar di bursa (publik). Meski begitu, hingga saat ini, belum ada informasi lebih lanjut mengenai penerapan SPK bagi entitas privat serta mikro, kecil, dan menengah.
Peta Jalan SPK menyatakan bahwa laporan yang berkualitas perlu diaudit atau mendapatkan laporan asurans dari pihak independen.
Walaupun saat ini asurans atas laporan keberlanjutan masih bersifat sukarela, assurance laporan keberlanjutan sangat disarankan demi memastikan kualitas yang setara dengan laporan keuangan.
Selain itu, karena laporan keberlanjutan berdasarkan IFRS S1 dan IFRS S2 merupakan satu kesatuan dengan laporan keuangan bertujuan umum, diharapkan perusahaan memiliki standar kualitas yang sama untuk kedua laporan.
Pilar utama dari IFRS S1 dan S2 mencakup tata kelola, strategi, risiko dan peluang, serta metrik dan target. Dengan mempersiapkan pelaporan berdasarkan IFRS S1 dan S2, perusahaan perlu melakukan analisis risiko dan peluang terkait keberlanjutan serta dampaknya terhadap kondisi keuangan mereka.
EY Climate Change and Sustainability Services (CCaSS) Indonesia Leader, Albidin Linda mengatakan, penerapan awal standar IFRS S1 dan S2 memberikan banyak manfaat bagi perusahaan, terutama dalam meningkatkan daya saing di mata investor global.
Saat perusahaan mengadopsi standar IFRS S1 dan S2 dalam laporan keberlanjutannya, investor akan mendapatkan informasi berkualitas tinggi yang memungkinkan mereka membandingkan kinerja antar perusahaan.
Selain itu, bursa efek di berbagai negara juga telah mendorong perusahaan untuk mengadopsi standar IFRS S1 dan S2 sebagai bagian dari praktik pelaporan keberlanjutan mereka.
“Untuk adopsi awal, perusahaan dapat mulai mempersiapkan beberapa hal. Perusahaan dapat memulai dengan mengidentifikasi risiko dan peluang yang berhubungan dengan iklim serta menilai dampaknya terhadap kinerja keuangan perusahaan,” ujar Albidin.
Perusahaan, tambah Albidin, juga dapat melakukan pengujian penurunan nilai aset untuk melihat kerentanan aset terhadap perubahan iklim.
Jika sudah merasa siap, perusahaan dapat berusaha untuk mendapatkan laporan assurance dari lembaga independen demi meningkatkan kualitas pelaporan.
“Perlu ada kerja sama dan sinergi antara tim keuangan, tim keberlanjutan dan tim manajemen risiko perusahaan untuk mempersiapkan pelaporan keberlanjutan sesuai standar IFRS S1 dan S2. Penerapan IFRS S1 dan S2 dapat meningkatkan ketahanan perusahaan dalam menghadapi risiko dan peluang yang berhubungan dengan keberlanjutan dan iklim,” kata Albidin.
Sebagai informasi, informasi lebih lanjut mengenai Climate Change and Sustainability Services EY Indonesia dapat dilihat melalui tautan berikut.??
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya