KOMPAS.com - Berdasarkan data Kementerian Kesehatan RI pada 2019, akses sanitasi di Indonesia baru mencapai 78 persen dari sekitar 65 juta kepala keluarga.
Artinya, Indonesia belum mencapai 100 persen Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) seperti yang telah ditetapkan Kemenkes.
Pasalnya, masih ada 15 juta kepala keluarga yang masih melakukan perilaku buang air besar (BAB) sembarangan di tempat terbuka.
Umumnya, perkotaan yang memiliki perkampungan padat penduduk atau perkampungan bantaran sungai melakukan perilaku BAB sembarangan dengan alasan tidak adanya fasilitas mandi cuci kakus (MCK) yang memadai.
Baca juga: Cara Membiasakan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat pada Anak
Padahal, perilaku tersebut bisa berakibat fatal bagi kesehatan lingkungan. Maka dari itu, pemerintah selalu menggalakkan kampanye Stop BAB Sembarangan.
BAB sembarangan berhubungan erat dengan penyakit infeksi cacing atau biasa disebut cacingan. Hal ini dikarenakan tinja atau kotoran manusia merupakan media berkembangnya bibit penyakit menular.
Kotoran akibat BAB sembarangan yang berada di lingkungan terbuka adalah lahan subur perkembangbiakan cacing. Umumnya telur cacing bertahan di lingkungan yang lembap, kemudian berkembang menjadi telur infektif.
Telur cacing yang ada di tanah tersebut sangat mungkin tertelan masuk ke dalam pencernaan anak. Sebab, anak-anak yang bermain tanah dan tidak langsung mencuci tangan memiliki risiko besar terinfeksi cacing.
Baca juga: Mengenal Berbagai Jenis Jamban di Indonesia, Mana yang Lebih Sehat?
Jika cacing berkembang biak pada tubuh si kecil pada periode emas pertumbuhan anak akan menempel pada usus dan menyerap zat-zat nutrisi pada tubuhnya. Lama kelamaan anak pun bisa mengalami kekurangan gizi yang membuatnya terkena stunting.
Begitu juga jika ibu hamil yang terkena cacingan, karena upaya cegah stunting sudah dimulai sejak kehamilan atau 1.000 hari pertama kehidupan.
Menurut Direktur Kesehatan Lingkungan Kemenkes, stunting tak hanya dipicu asupan gizi yang tidak mencukupi, tetapi juga sanitasi yang buruk.
Sanitasi yang buruk bukan hanya sekadar perilaku BAB sembarangan, tetapi juga jamban dengan septic tank yang tidak disedot dengan baik secara rutin. Hal tersebut memungkinkan terjadinya kebocoran yang dapat mencemari air tanah.
Baca juga: Cegah Anak Stunting, Perhatikan Gizi dan Kebersihan
Jika ibu hamil atau anak pada periode emas pertumbuhannya mengonsumsi atau membersihkan diri dengan air tanah tercemar tersebut, maka risiko terena stunting sangat besar.
Risiko terkena stunting ini didapatkan saat mereka mulai mengalami gangguan pencernaan berkepanjangan, seperti diare kronis, tifus, cacingan, hingga hepatitis.
Selama ini, diare biasa diangap sebagai penyakit sepele. Padahal, jika gangguan pencernaan ini terjadi pada 1.000 hari pertama kehidupan akibatnya anak bisa terkena stunting.
Sebab, tubuh kehilangan nutrisi-nutrisi yang dibutuhkan sehingga asupan gizinya tifak terpenuhi. Kasus kekurangan nutrisi yang berlarut merupakan gerbang awal dari stunting pada anak.
Baca juga: Penerapan PHBS di Sekolah Saat Adaptasi Kebiasaan Baru
Masalah ini juga memicu terjadinya tifus yang dapat membuat anak kehilangan nafsu makan dan memperbesar risiko anak terkena stunting.
Mulai sekarang, Genbest bisa mencari informasi lainnya mengenai seputar kesehatan bayi, remaja putri, ibu hamil, dan hal-hal yang berkaitan dengan pencegahan stunting lewat laman https://genbest.id/. Yuk sadar stunting dimulai dari diri sendiri.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya