KOMPAS.com - Stunting masih jadi tantangan besar di Indonesia. Penyebabnya ada banyak, salah satunya adalah pernikahan dini di usia remaja.
Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012 menunjukkan data bahwa angka kematian neonatal, postnatal, bayi dan balita pada ibu yang berusia remaja atau kurang dari 20 tahun lebih tinggi dibandingkan pada usia 20-39 tahun.
Ketidaksiapan secara fisik dan mental pada ibu yang hamil di usia remaja mengakibatkan berbagai tantangan selama proses mulai dari kehamilan hingga melahirkan.
Belum lagi terbatasnya pengetahuan ibu tentang pentingnya persiapan gizi pada masa 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK). Ini meningkatkan berbagai risiko kesehatan pada anaknya, termasuk stunting.
Baca juga: Nikah di Usia Remaja Memperbesar Risiko Anak Stunting
Dengan risiko yang cukup besar, maka tidak heran jika remaja diminta menunda kehamilan hingga usianya cukup.
Yuk, ketahui risiko apa saja yang membayangi pernikahan di usia remaja:
Organ reproduksi di usia remaja memang sudah berfungsi, namun kematangannya belum sempurna. Ini yang menyebabkan kehamilan di usia remaja rentan mengalami keguguran.
Kehamilan pada usia remaja memiliki risiko tinggi untuk terkena gangguan anemia kronis. Terbaginya kebutuhan zat besi untuk diri sendiri dan bayi bisa menyebabkan remaja putri mengalami lemas bahkan pingsan.
Kejadian anemia saat hamil dapat meningkatkan risiko bayi lahir prematur dan penderita kesulitan dalam proses melahirkan.
Jika sudah parah, anemia saat kehamilan akan memengaruhi pertumbuhan bayi dalam kandungan.
Belum adanya pengetahuan tentang pentingnya kebutuhan nutrisi di 1.000 HPK membuat calon ibu mengalami kurang gizi selama kehamilan dan melahirkan prematur.
Baca juga: Bahaya Pernikahan Dini Sebagai Penyebab Stunting
Bayi yang lahir prematur umumnya memiliki berat badan lahir rendah. Fakta dari International Journal of Epidemiology mengungkapkan ibu yang berusia 10-19 tahun memiliki risiko 14 persen lebih tinggi melahirkan bayi dengan berat badan lahir rendah dibandingkan ibu usia 20-24 tahun.
Seperti diketahui, kebutuhan gizi anak dimulai sejak 1.000 HPK atau saat kehamilan hingga usia 2 tahun.
Kehamilan remaja dapat menyebabkan bayi lahir dengan risiko stunting lebih tinggi karena umumnya remaja belum memperoleh edukasi secara menyeluruh mengenai kehamilan dan perawatan gizi bayi.
Dampak kehamilan lainnya di usia remaja adalah kerusakan di area serviks dan sekitarnya.
Meskipun luka robek vagina sata melahirkan dialami pada beberapa ibu diatas usia 20 tahun, kondisinya berbeda dengan remaja. Fungsi organ vagina pada wanita cukup umur umumnya sudah maksimal, sehingga kemungkinan sembuh akan lebih cepat dan optimal.
Remaja yang hamil juga bisa mengalami depresi akut. Depresi ini muncul pasca-persalinan dalam bentuk baby blues, postpartum depression, dan gangguan lainnya.
Kemungkinan depresi akan lebih tinggi jika kehamilan remaja dipicu oleh seks pranikah karena secara mental yang bersangkutan belum siap menjadi ibu.
Kehamilan di usia remaja juga berisiko preeklampsia (komplikasi kehamilan) yang ditandai dengan tekanan darah tinggi, adanya protein yang larut dalam urin, dan tanda kerusakan organ lainnya.
Baca juga: Pentingnya Vaksinasi Sebelum Merencanakan Kehamilan
Pengobatan harus segera dilakukan untuk mengontrol tekanan darah dan mencegah komplikasi, namun hal ini juga dapat mengganggu pertumbuhan bayi dalam kandungan.
Mulai sekarang, Genbest bisa mencari informasi lainnya mengenai seputar kesehatan bayi, remaja putri, ibu hamil, dan hal-hal yang berkaitan dengan pencegahan stunting lewat laman https://genbest.id/. Yuk sadar stunting dimulai dari diri sendiri.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya