Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Maria "Mama Sorgum" Loreta, Penjaga Ketahanan Pangan NTT lewat Sorgum

Kompas.com - 9 Agustus 2023, 12:59 WIB
Seraphinus Sandi Hayon Jehadu,
Krisiandi

Tim Redaksi

Setahun kemudian nama Loreta mulai dikenal. Ia juga mulai membangun jejaring dengan sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan belajar tentang sorgum dari para rohaniwan Katolik.

"Sejak 2010 ternyata para petani mulai antusias dengan saya. Dan kelompok tani pertama yang undang saya itu Apel (Asosiasi Petani Lembor) Manggarai Barat," ucapnya.

Tak berhenti di situ, selepas dari Lembor, Loreta mendapat banyak undangan dari para petani di berbagai daerah, seperti Ende, Ngada, Nagekeo, Flores Timur, Lembata, Rote dan beberapa wilayah di Pulau Timor.


Banyak persoalan

Foto: Maria Loreta (54) penggerak sorgum di NTTSerafinus Sandi Hayon Jehadu/Kompas.com Foto: Maria Loreta (54) penggerak sorgum di NTT
Loreta menemukan banyak persoalan yang dihadapi petani, seperti gagal panen, musim tidak menentu, kekurangan air, dan masalah lain. Apalagi petani mulai menggantungkan hidup dari jagung dan padi.

Baca juga: Kisah Syamlan dan Sekolah Sepatu Rodanya, Ajak Anak Bersenang-senang Sambil Jalankan Gaya Hidup Sehat

"Inilah masalahnya, petani kita menggantungkan hidup dari padi dan jagung, padahal kita punya sorgum," ujar ibu empat anak ini.

Loreta menjelaskan sorgum merupakan pangan lokal khas, dan cocok untuk dibudidaya di daerah lahan kering dan iklim sepeti NTT. Sayangnya program berasnisasi pada 1970-an membuat petani meninggalkan sorgum.

Fakta ini membuat Loreta terus tertantang untuk mengampanyekan sorgum di seluruh pelosok NTT. Ia berjuang mengubah pemahaman masyarakat, membangun optimisme petani untuk tanam sorgum.

"Awalnya banyak yang pesimis tapi saya berusaha. Dan saat ini kurang lebih 700 an hektare lahan sudah ditanami sorgum. Ini wilayah yang pernah saya kunjungi," ucapnya.

Baca juga: Komunitas Ganesa Peduli di Lombok, Berkeliling Tambal Jalan dari Duit Urunan

Dijuluki "mama sorgum"

Foto: Sorgum yang telah diolah menjadi beras sorgumSerafinus Sandi Hayon Jehadu/Kompas.com Foto: Sorgum yang telah diolah menjadi beras sorgum
Kesuksesan ini membuat Loreta dijuluki sebagai Mama Sorgum di NTT.

Ia juga menerima banyak penghargaan, seperti Kehati Award 2012 bidang Prakarsa Lestari Kehati, Kartini Award 2012, Perempuan Terinspiratif Bidang Lingkungan, Ashoka Innovators for The Public 2013

Lalu, Perempuan Pemerhati Lingkungan Pendidikan Anak Usia Dini dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, 2016, Pelopor, Penggerak Sorgum dan Petani Teladan HPS 2016 dari Kementerian Pertanian RI, dan sejumlah penghargaan lain.

Bagi Loreta penghargaan bukan tujuan, tetapi menjadi penyemangat untuk terus mendorong petani khususnya perempuan dan anak di NTT, menjaga ketahanan pangan melalui sorgum.

"Yang menguatkan saya itu adalah petani, karena itu sudah saatnya kita kampanyekan dan tanaman sorgum tanpa harus bergantung pada beras dan jagung," pungkasnya.

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Halaman:

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of
Baca tentang
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau