Hal itu sangat disayangkan karena di negara tetangga Singapura, semua pelaku usaha di seluruh sektor dengan emisi di atas 2.500 tCO2e per tahun wajib untuk melaporkan emisinya berdasarkan Peraturan National Environment Agency (NEA).
Hasil pertemuan COP29 yang membuka peluang perdagangan karbon dapat menjadi salah satu urgensi Pemerintah Indonesia untuk mewajibkan pelaporan emisi di berbagai sektor, mengadakan penerapan pungutan atas karbon, dan mempercepat infrastruktur perdagangan karbon.
“Pengukuran emisi harus lebih diperhatikan karena hal itu merupakan langkah awal dalam mewujudkan strategi rendah karbon sebagai aksi mitigasi perubahan iklim bagi para pelaku usaha,” Kata Albidin.
Lebih lanjut, Albidin mengatakan bahwa perlu ada komunikasi yang konsisten dengan kementerian sektoral untuk mengidentifikasi waktu implementasi skema BAE sektoral.
Selain itu, lanjutnya, urgensi bagi pelaku usaha di Indonesia untuk segera berfokus pada transisi rendah karbon juga perlu ditingkatkan.
“Masih ada kesempatan bagi pelaku usaha untuk mempersiapkan strategi rendah karbon guna menyambut perdagangan karbon lintas negara ini,” tutur Albidin.
Ia mengatakan, kunci dari persiapan strategi rendah karbon di antaranya adalah dengan pengukuran profil emisi yang akurat, rencana penurunan emisi yang realistis, dan ketersediaan pembiayaan rencana penurunan emisi.
“Persiapan yang dilakukan akan sangat menentukan apakah penerapan nilai ekonomi karbon dapat menjadi peluang yang menguntungkan atau justru menjadi risiko bagi pelaku usaha di Indonesia,” jelas Albidin.
Dapatkan informasi lebih lanjut mengenai Climate Change and Sustainability Services EY Indonesia yang bisa di akses melalui tautan berikut.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya