KOMPAS.com – Seperti orang dewasa, anak juga bisa mengalami anemia defisiensi besi (ADB). Sesuai namanya, kondisi ini terjadi saat anak mengalami penurunan jumlah sel darah merah atau hemoglobin karena kekurangan zat besi.
Faktornya bermacam-macam, mulai dari kurangnya asupan makanan yang mengandung zat besi hingga tubuh yang tidak bisa optimal menyerap zat besi.
Akibatnya, sistem kekebalan tubuh terganggu. Bahkan, dampak lebih jauh bisa menyebabkan stunting dan IQ rendah. Pada remaja, dampaknya juga bisa memengaruhi konsentrasi sampai menurunkan prestasi belajar.
Baca juga: Cegah Stunting, Balita Harus Menguasai 5 Skill Kebersihan Diri
ADB dapat dicegah. Caranya, dengan mengonsumsi makanan yang kaya zat besi seperti daging, sereal, dan kacang-kacangan.
Cara lainnya dengan makan buah-buahan yang kaya vitamin C, seperti jeruk, melon, tomat, dan stroberi.
Namun, pada anak yang masih suka pilih-pilih makanan atau bayi, tablet penambah darah juga bisa jadi alternatif. Akan tetapi, dosisnya harus melalui pengawasan dokter.
Pada dasarnya, usia yang rentan terhadap risiko anemia defisiensi besi adalah bayi. Umumnya, kasus ini disebabkan berbagai faktor, seperti bayi lahir prematur, lahir dengan berat badan rendah, dan ada masalah saat proses pemberian makanan pendamping air susu ibu (MPASI).
Baca juga: Waspada, Pemberian MPASI Kurang Tepat Bisa Berisiko Stunting
Tanda-tanda bayi mengalami anemia defisiensi besi, yakni melakukan aksi gerakan tutup mulut (GTM). Kondisi ini terjadi karena nafsu makan anak menurun.
Selain itu, bayi juga biasanya menjadi mudah rewel, sering mengeluh pusing, denyut jantung cepat, kulit terlihat lebih pucat, mudah lelah dan kurang aktif, juga mudah terkena infeksi karena daya tahan tubuh rendah.
Jika mendapati beberapa tanda di atas, sebaiknya generasi bersih dan sehat (Genbest) segera menghubungi dokter.
Perlu diketahui, diagnosis ADB tidak bisa dilakukan secara mandiri di rumah. Bayi harus menjalani serangkaian tes berdasarkan anjuran dokter.
Menurut American Academy of Pediatrics (AAP) berdasarkan skrining universal, penggunaan suplemen zat besi pada bayi bisa dimulai pada usia 4 bulan. Sementara, menurut Organisasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), pemberian suplemen zat besi dapat diberikan lebih awal, yakni sejak usia 2-23 bulan, dengan dosis tunggal 2 miligram per kilogram berat badan bayi per hari.
Anjuran WHO tersebut dapat dilakukan terhadap bayi yang lahir dengan berat badan rendah. Umumnya, bayi dengan kondisi tersebut memang memiliki risiko 10 kali lipat lebih tinggi mengalami defisiensi besi.
Bagi bayi prematur dengan berat badan masih dalam taraf aman, anak dapat diberikan suplemen zat besi sekurang-kurangnya pada dosis yang sama hingga usia 12 bulan.
Hal ini mengingat kebutuhan zat besi anak akan terus meningkat selama masa pertumbuhan, dan ia berisiko mengalami defisiensi besi.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya