KOMPAS.com – Stunting merupakan salah satu masalah kesehatan yang mengintai keluarga Indonesia.
Menurut Pendataan Keluarga 2021 (PK 21) yang dilakukan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), jumlah risiko stunting di Indonesia mencapai 21,9 juta keluarga.
Untuk diketahui, stunting merupakan gangguan tumbuh kembang anak akibat kekurangan gizi. Adapun ciri-ciri stunting yang paling terlihat adalah tubuh anak lebih pendek dari standar perhitungan yang ditetapkan Badan Kesehatan Dunia (WHO). Meski demikian, tubuh pendek bukan satu-satunya ciri stunting.
Selain berdampak terhadap tumbuh kembang anak, termasuk fungsi motorik dan verbal, stunting juga meningkatkan risiko penyakit degeneratif dan kejadian kesakitan.
Stunting dapat juga mengakibatkan pertumbuhan dan perkembangan sel-sel neuron terhambat sehingga anak berisiko mengalami 7 persen penurunan perkembangan kognitif.
Stunting harus diwaspadai dengan cara memastikan gizi anak terpenuhi pada 1.000 hari pertama kehidupannya.
(Baca juga: Anak Gemuk Berisiko Mengalami Stunting, Kok Bisa?)
Tak hanya stunting, keluarga Indonesia juga perlu mewaspadai anemia yang kerap dialami remaja putri.
Menurut data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, proporsi kejadian anemia pada remaja putri mencapai 27,2 persen. Angka ini lebih tinggi jika dibandingkan kejadian pada remaja laki-laki yang hanya sekitar 20,3 persen.
Sebagai informasi, anemia merupakan salah satu gangguan yang melanda ketika tubuh kekurangan sel darah merah atau hemoglobin. Adapun sel darah merah berguna untuk mengangkut oksigen ke seluruh tubuh.
Anemia terjadi bila jumlah sel darah merah terlalu sedikit atau level hemoglobin di dalam sel darah merah terlalu rendah.
Kondisi itu bisa menyebabkan mudah lelah, letih, lesu, kulit pucat, sering sakit, pusing, sulit fokus, kuku rapuh, rambut rontok, perubahan indra perasa, dan telinga berdenging.
Sementara itu, menurut penelitian yang dipublikasikan Marion Leslie Roche dkk pada 2018, salah satu jenis anemia yang paling banyak terjadi di dunia dan dialami remaja putri adalah anemia defisiensi zat besi. Dalam kondisi ini, jumlah zat besi yang terdapat di dalam darah terlalu kecil.
Pada penelitian yang dilakukan di Jawa Barat tersebut, Roche dkk menemukan bahwa anemia kekurangan zat besi mengakibatkan penurunan prestasi sekolah, badan tumbuh tidak maksimal alias pendek, mudah lelah dan sakit-sakitan, serta rentan terhadap keracunan.
Anemia defisiensi zat besi juga berpotensi mengganggu fungsi kognitif dan mengurangi produktivitas seseorang.
Ketika dewasa serta mengandung, penderita anemia defisiensi zat besi berisiko melahirkan anak dengan berat badan lahir rendah dan prematur, bahkan menyebabkan kematian janin.
(Baca juga: Benarkah ASI Dapat Mencegah Berbagai Penyakit Bagi Ibu dan Bayi?)
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya