Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 20/05/2021, 17:05 WIB
Ellyvon Pranita,
Bestari Kumala Dewi

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Stunting adalah ganggungan pertumbuhan fisik pada anak. Bertubuh pendek merupakan salah satu indikasi dari anak dengan kondisi stunting

Selain ditandai dengan bertubuh pendek atau kerdil, stunting juga ditandai dengan terganggunya perkembangan otak.

Jumlah kasus stunting di Indonesia pada tahun 2019 mencapai 27,67 persen. Angka itu berhasil ditekan dari 37,8 persen di tahun 2013.

Baca juga: Kasus Stunting Terbanyak, Indonesia Tempati Urutan Keempat Dunia

Meski demikian, angka ini masih lebih tinggi dibandingkan toleransi maksimal stunting yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yaitu kurang dari 20 persen.

Sehingga, status Indonesia masih berada di urutan 4 dunia dan urutan ke-2 di Aisa Tenggara terkait kasus balita stunting.

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional ( BKKBN) memprediksi bahwa 4 tahun ke depan dari 20 juta kelahiran bayi, tujuh juta di antaranya berpotensi mengalami stunting. 

Dengan perkiraan ini, maka presentase bayi yang mengalami stunting di Indonesia akan meningkat menjadi 27 persen. 

Data ini diungkapkan oleh Kepala BKKBN Hasto Wardoyo, seusai rapat kabinet terbatas dengan Presiden, Senin (25/1/2021).

Presiden Joko Widodo pada Januari 2021 lalu menargetkan pada tahun 2024 kasus stunting di Indonesia bisa ditekan hingga berada di angka 14 persen, dan angka kematian ibu bisa ditekan hingga di bawah 183 kasus per 100.000 ibu melahirkan.

Penyebab angka stunting Indonesia tinggi

Penyebab tingginya angka stunting di Indonesia dikarenakan sebagian kelahiran bayi di Indonesia sudah dalam kondisi kekurangan nutrisi, lalu dibesarkan juga dengan kekurangan zat gizi.

Sinteisa Sunarjo selaku Group Business Unit Head Woman Nutrition Kalbe Nutritionals mengatakan, kondisi stunting atau gagal tumbuh pada anak sangat terkait dengan gizi penduduk yang buruk dalam periode cukup panjang.

Masa 1.000 hari pertama atau sekitar tiga tahun kehidupan sejak masih dalam kandungan, merupakan masa penting pembangunan ketahanan gizi.

Baca juga: Cara Mencegah Stunting sejak 1.000 Hari Pertama Kehidupan Anak

 

Lewat dari 1.000 hari, dampak buruk kekurangan gizi akan sulit diobati. Kekurangan gizi pada ibu hamil juga bisa memicu stunting. 

“Nutrisi memang mengambil peran penting yang perlu menjadi perhatian lebih bagi calon orangtua, baik sejak masa perencanaan, kehamilan, hingga menyusui," kata Sinteisa dalam peluncuran program kolaborasi BKKBN, Prenagen dan Klikdokter bertajuk Smart Sharing: Program Kerja Sama Penurunan Angka Stunting di Indonesia, Selasa (18/5/2021).

Lebih lanjut Sinteisa menyebut, penyebab stunting bisa berasal dari faktor internal dan faktor eksternal.

Faktor internal antara lain kekurangan gizi kronis yang bisa menyebabkan abortus, anemia pada bayi baru lahir, bayi dengan berat badan lahir rendah, cacat bawaan, hingga kematian.

Sementara faktor eksternal, seperti buruknya fasilitas sanitasi, minimnya akses air bersih, dan kurangnya kebersihan lingkungan.

Baca juga: Anak Stunting, Apa yang Dilakukan agar Tumbuh Kembang Membaik?

"Kekurangan gizi kronis pada anak memang akan menimbulkan persoalan serius dalam pembangunan sumber daya manusia di masa depan," ujar Sinteisa.

Sehingga, ditegaskan Sinteisa, tanpa penanganan serius akan semakin banyak penduduk yang dewasa dan menua dengan perkembangan kemampuan kognitif yang lambat, mudah sakit, dan kurang produktif.

Kepala BKKBN, Dr (HC) dr Hasto Wardoyo SpOG(K) mengatakan, untuk menurunkan angka kasus stunting di Indonesia harus dilakukan dari hulu ke hilir.

"Stunting harus ditekan dari hulu ke hilir mulai dari program edukasi hingga intervensi gizi untuk mencegah anak gagal tumbuh," ujarnya.

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of
Baca tentang
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com