JAKARTA, KOMPAS.com – Pembalakan liar yang menyebabkan deforestasi terus mengancam hutan Indonesia. Aktivitas ilegal ini bukan hanya merugikan negara secara ekonomi, melainkan juga berdampak pada degradasi ekosistem yang mengancam kelestarian keanekaragaman hayati.
Kementerian Kehutanan (Kemenhut) menyebutkan, angka deforestasi hutan Indonesia pada 2024 lebih tinggi jika dibandingkan dua tahun lalu.
Berdasarkan catatan, deforestasi Indonesia pada 2024 mencapai 175.400 hektare. Sementara, deforestasi pada 2022 sebesar 104.032 hektare dan pada 2023 sebesar 121.100 hektare.
Menurut data Kemenhut, laju deforestasi tertinggi terjadi di Kalimantan Timur dan wilayah Sumatera. Faktor penyebabnya meliputi kebakaran hutan dan lahan, kebakaran lahan gambut, serta maraknya pembalakan liar.
Di Indonesia, tantangan utama dalam pemberantasan pembalakan liar terletak pada lemahnya pembuktian asal usul kayu di pengadilan.
Selama ini, aparat penegak hukum hanya mengandalkan dokumen legalitas, seperti Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH) atau barcode kayu. Namun, dokumen tersebut kerap dipalsukan atau disalahgunakan.
Di tengah kompleksitas tersebut, teknologi forensik DNA kayu hadir sebagai terobosan untuk menelusuri asal usul kayu ilegal secara ilmiah.
Dalam praktiknya, bagian kayu yang digunakan untuk ekstraksi DNA bisa berasal dari kulit hingga inti batang, baik pada kayu segar maupun kayu olahan, seperti plywood.
Meski proses pengolahan bisa merusak DNA, fragmen-fragmen kecilnya tetap bisa direkonstruksi. Ini mirip dengan metode forensik pada tubuh manusia yang memungkinkan potongan DNA rusak bisa disusun ulang untuk mengungkap identitas individu.
Ahli forensik kayu dari Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) Iskandar Zulkarnaen Siregar menjelaskan bahwa teknologi ini membantu mengidentifikasi jenis dan asal geografis kayu berdasarkan urutan DNA-nya.
“Setiap spesies pohon memiliki sidik jari genetik yang unik. Bahkan, spesies yang sama bisa memiliki variasi genetik khas tergantung dari wilayah tumbuhnya," kata Iskandar saat berbincang secara eksklusif dengan Kompas.com, Rabu (14/5/2025).
Baca juga: Menhut Dorong Hilirisasi Berkelanjutan pada UMKM Kayu
Metode tersebut, lanjutnya, bekerja dengan mengekstraksi DNA dari sampel kayu, kemudian dicocokkan dengan basis data DNA referensi dari berbagai jenis pohon dan lokasi.
Menurut Iskandar, Indonesia punya keunggulan karena keanekaragaman geografis dan hayati yang menciptakan variasi genetik antarwilayah. Sebagai contoh, spesies meranti merah (Shorea leprosula) yang tumbuh di Kalimantan punya profil genetik berbeda dengan spesies yang tumbuh di Sumatera.
“Peta genetik dari spesies pohon seperti ini bisa dibuat untuk dijadikan basis pelacakan. Kita bisa tahu bahwa kayu ini, misalnya, berasal dari Jambi, bukan dari Papua atau daerah lainnya,” kata Iskandar.
Bagian kayu yang digunakan untuk ekstraksi DNA bisa berasal dari kulit hingga inti batang, baik pada kayu segar maupun kayu olahan, seperti plywood.Adapun IPB telah membangun basis data tersebut melalui program kerja sama dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), serta lembaga riset independen internasional, termasuk World Resources Institute (WRI) Indonesia.
Untuk diketahui, Iskandar sendiri merupakan salah satu investigator dalam proyek Wood Identification (Wood ID) yang diinisiasi WRI.
Proyek itu bertujuan mengurangi pembalakan liar dengan mempercepat penerapan teknologi identifikasi kayu untuk memverifikasi klaim terkait spesies serta asal-usul kayu dan produk hutan. Proyek ini juga sekaligus memperkuat penegakan hukum di Indonesia melalui pemberian bukti ilmiah terkait identifikasi kayu.
Sebagai teknologi identifikasi, Wood ID memfasilitasi pengembangan database yang menjadi sumber referensi identifikasi kayu, memungkinkan identifikasi spesies dan asal kayu secara akurat. Selain itu, Wood ID aktif berkontribusi dalam mengembangkan pedoman yang dapat menjadi panduan penanganan forensik kayu bagi lembaga penegak hukum.
Adapun sampel referensi DNA kayu diambil dari pohon-pohon yang tumbuh secara alami di berbagai wilayah Indonesia, mulai dari Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, hingga Papua.
Pengumpulan itu dilakukan secara sistematis agar dapat mewakili variasi genetik setiap spesies secara geografis. Data yang terkumpul kemudian digunakan untuk mencocokkan DNA dari sampel kayu sitaan atau temuan di lapangan.
Menurut Iskandar, metode yang paling sering digunakan untuk analisis DNA adalah barcoding dan single nucleotide polymorphism (SNP). Barcoding cocok untuk mengidentifikasi jenis kayu berdasarkan gen standar, sedangkan SNP digunakan untuk mengetahui asal geografis dengan ketelitian tinggi.
"Misalnya, kayu merbau yang berasal dari Papua memiliki profil SNP yang berbeda dari merbau yang tumbuh di Sulawesi," jelasnya.
Baca juga: Lawan Pembalakan, IPB-WRI Indonesia Kembangkan Database Genetika Ramin
Namun, tidak semua jenis kayu bisa langsung dianalisis. Kualitas DNA bergantung pada tingkat pelapukan dan pengolahan. Kayu yang sudah diawetkan atau melalui proses pengeringan tertentu bisa mengalami degradasi DNA yang signifikan. Untuk itu, tim forensik sering harus bekerja ekstra hati-hati dalam mengekstraksi DNA dari sampel yang sulit.
Selain itu, tantangan terbesar dalam pengembangan teknologi tersebut adalah minimnya laboratorium forensik hayati yang terakreditasi serta kebutuhan terhadap sumber daya manusia yang terlatih.
Meski Indonesia sudah memiliki beberapa laboratorium dengan kemampuan analisis DNA tumbuhan seperti yang dimiliki IPB, nyatanya belum semua laboratorium dilengkapi sarana dan prasarana untuk menangani forensik kayu secara komprehensif.
Dalam konteks hukum Indonesia, hasil forensik DNA kayu saat ini dikategorikan sebagai alat bukti surat atau keterangan ahli.
Jaksa Asnath Anytha Idatua Hutagalung dari Jaksa Agung Muda Pidana Umum Kejaksaan Agung menjelaskan, menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), terdapat lima jenis alat bukti yang sah, yakni keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa.
Bukti ilmiah, seperti hasil forensik DNA, bisa menjadi alat bukti yang sah di pengadilan apabila metode tersebut dilakukan oleh lembaga atau ahli yang memiliki kompetensi serta didukung oleh prosedur pengumpulan dan pelaporan yang sesuai dengan KUHAP.
Dengan kata lain, keterangan ahli menjadi penopang penting dalam menjelaskan temuan ilmiah yang kompleks.
“Keterangan ahli sangat penting, karena bahasa hasil laboratorium itu (bersifat) teknis. Hakim dan jaksa butuh penjelasan tentang apa artinya temuan DNA tersebut dalam konteks hukum,” jelas Asnath saat ditemui di Kejaksaan Agung Jakarta, Senin (2/6/2025).
Baca juga: Di Dokumen 5, Nyatanya 76: Mafia Kayu Hutan Terancam Denda Rp 2,5 Miliar
Ia juga menyebut bahwa penggunaan bukti ilmiah, seperti DNA kayu, bisa menjadi game changer dalam penegakan hukum kehutanan. Namun, ia mengingatkan bahwa bukti ilmiah tidak bisa berdiri sendiri tanpa prosedur hukum yang benar.
“Kami butuh rantai pembuktian yang lengkap. Mulai dari penyitaan, pengamanan barang bukti, hinga analisis DNA, semuanya harus bisa dipertanggungjawabkan secara hukum,” ujarnya.
Jaksa Asnath Anytha Idatua Hutagalung dari Jaksa Agung Muda Pidana Umum Kejaksaan Agung.Menurut Asnath, meski belum termasuk dalam kategori alat bukti elektronik, potensi itu juga terbuka lebar. Bila kelak database DNA kayu tersimpan secara digital, maka datanya bisa masuk ke dalam kategori alat bukti elektronik berdasarkan UU ITE.
Saat ini, pembalakan liar diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU P3H). Beleid ini menjadi payung hukum utama dalam penanganan pembalakan liar dan perusakan hutan secara umum.
Selain itu, ada pula juga Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan serta Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Forensik DNA kayu memang belum menjadi alat utama dalam pemberantasan kejahatan kehutanan di Indonesia. Namun, beberapa kasus telah menunjukkan potensi forensik DNA kayu dalam memperkuat dakwaan. Kemampuan untuk memberikan pembuktian ilmiah yang kuat menjadikan DNA kayu senjata penting di masa depan.
Iskandar menilai bahwa potensi teknologi DNA kayu tidak hanya untuk penegakan hukum, tetapi juga untuk meningkatkan transparansi industri kehutanan. Ketika kayu Indonesia dapat dibuktikan keabsahannya melalui bukti ilmiah, kepercayaan pasar global pun akan meningkat.
“Ini PR besar kita bersama. Teknologi ini bisa membantu menaikkan harga kayu legal, menekan kayu ilegal, dan memperkuat sistem verifikasi legalitas. Tapi, perlu kerja bersama (untuk mewujudkannya),” ucap dia.
Baca juga: Peneliti BRIN: Gesekan Ranting Kayu hingga Petir Tak Mungkin Sebabkan Karhutla
Di sisi lain, Iskandar tak memungkiri bahwa implementasi teknologi DNA kayu belum optimal lantaran keterbatasan sumber daya dan biaya serta ketidaktersediaan regulasi teknis yang spesifik tentang forensik DNA kayu di tingkat nasional.
Oleh karena itu, diperlukan sinergi antarlembaga untuk memperkuat pemanfaatan forensik kayu.
Iskandar mencontohkan bahwa kerja sama antara IPB, Kemenhut, BRIN, WRI Indonesia, serta aparat penegak hukum dapat menjadi kunci untuk memperkuat pemanfaatan forensik kayu.
Selain itu, peran masyarakat sipil dan lembaga internasional dalam mendukung pendanaan dan pelatihan juga sangat penting.
Ahli forensik kayu dari Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) Iskandar Zulkarnaen Siregar bersama rekan-rekan peneliti kayu.Ia juga berharap pemerintah segera membentuk sistem nasional basis data DNA pohon yang terintegrasi dan terbuka bagi penegak hukum. Ini berarti pengumpulan sampel dari berbagai wilayah, pemetaan genetik, dan penyimpanan data dalam sistem terstandar. Sistem ini akan mempercepat proses identifikasi dan meningkatkan kredibilitas hasil analisis.
“Database DNA itu ibarat mata uang baru. Tanpa itu, kita tak bisa mengonfirmasi asal usul kayu. Namun, membangunnya butuh waktu, dana, dan komitmen besar. Kalau punya sistem yang kuat, tidak hanya kasus besar yang bisa kita ungkap, tetapi juga kejahatan-kejahatan kecil yang selama ini luput dari perhatian,” ujar Iskandar.
Baca juga: Cabai Palurah dari IPB, Solusi Pedas Berkelanjutan untuk Dapur dan Industri
Langkah lainnya adalah mendorong penerbitan regulasi teknis dan standar operasional prosedur (SOP) untuk penggunaan bukti DNA kayu dalam proses hukum. Hal ini akan memberikan kepastian bagi aparat penegak hukum dan menjamin kualitas pembuktian di pengadilan.
Asnath menambahkan bahwa dari sisi penegakan hukum, sinergi antara penyidik, jaksa, dan ahli juga perlu diperkuat. Prosedur hukum harus dilalui secara disiplin agar hasil forensik bisa diterima sebagai alat bukti.
“Bukan sekadar menghukum, melainkan menyelamatkan hutan. Komoditas kayu dan satwa itu warisan generasi. Kalau kita tidak bisa lindungi hari ini, apa yang akan tersisa nanti?" tegasnya.
Dalam konteks perubahan iklim global dan tuntutan internasional terhadap legalitas dan keberlanjutan produk kehutanan, teknologi DNA kayu bukan hanya menjawab tantangan hukum, melainkan juga memperkuat posisi Indonesia di mata dunia.
Indonesia punya peluang besar menjadi pelopor dalam pemanfaatan sains untuk perlindungan hutan. Namun, tantangan ke depan tak ringan. Jumlah peneliti di Indonesia masih sangat terbatas. Investasi pada riset dan teknologi harus ditingkatkan.
“Kalau kita tak berikan 'karpet merah' untuk riset anak bangsa, maka informasi genetik yang penting bisa hilang sebelum bisa dimanfaatkan," ujar Iskandar.
Untuk itu, ia menekankan pentingnya dukungan terhadap pendidikan sains (science), teknologi (technology), rekayasa (engineering), dan matematika (mathematics) atau STEM serta kebijakan yang memfasilitasi riset, termasuk penghapusan hambatan administratif.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya