Menjelang ulang tahun Jakarta, ia berharap kota ini bisa menjadi tempat yang membuat orang betah berjalan kaki atau naik sepeda—dengan trotoar lebar, pepohonan rindang, udara bersih, dan bebas asap rokok.
“Dengan kerja sama antara pemerintah dan masyarakat, Jakarta bisa jadi kota modern tapi tetap hijau. Jadi orang bisa kerja keras tapi tetap waras karena lingkungannya suportif.”
Senada, Lail (25), warga Jakarta Selatan lainnya, menilai Jakarta sangat bisa menjadi kota yang ramah kaki, hati, dan paru, asalkan infrastrukturnya inklusif untuk semua kalangan.
Baca juga: Polusi Udara Paris Turun 50 Persen Usai Prioritaskan Penggunaan Sepeda
“Aku suka jogging dan jalan santai. Aku cukup prihatin dengan kondisi trotoar, terutama di pemukiman yang bukan daerah perkantoran. Untuk sekadar jalan santai biasa pun gak memadai, tidak semua orang punya waktu dan akses ke GBK” ujarnya.
Ia juga menyoroti polusi yang jadi masalah menahun. Meski menyadari keterbatasannya dalam membantu mengatasi masalah polusi Lail tetap berupaya.
“Aku sering mengajak orang-orang sekitar untuk lebih sering jalan kaki dan naik transportasi umum,” katanya.
Baginya, perubahan kecil bisa memberi efek domino positif. Jika semakin banyak orang berjalan kaki atau menggunakan transportasi umum, maka pemerintah akan terdorong untuk memperbaiki fasilitasnya. Dampaknya bisa sampai ke penurunan jumlah kendaraan bermotor, polusi, dan berujung pada kesehatan fisik yang lebih baik.
“Ini nyambung ke masalah mental. Kalau fisik sehat, umumnya mental juga akan sehat. Apalagi Jakarta sudah cukup punya kawasan buat pereda stres. Tapi kalau penyebab stresnya justru macet, polusi, ya nggak sehat juga buat mental,” jelasnya.
Karena itu, menurut Lail, pemerintah perlu lebih serius memperhatikan sarana dan prasarana pendukung agar Jakarta benar-benar menjadi kota yang ramah kaki, hati, dan paru.
Dari sisi utara kota, Yusuf (25) atau akrab disapa Ucup, warga Jakarta Utara, juga menilai mewujudkan Jakarta yang lebih hijau dan menyehatkan hanya bisa dicapai lewat kolaborasi antara pemerintah, komunitas, dan warganya.
“Sebenarnya sudah dilakukan dan sudah mulai kelihatan perbaikan infrastruktur yang membuat Jakarta lebih hijau, lebih sehat. Beberapa hasilnya sudah kelihatan, kayak adanya ruang terbuka kayak GBK misalnya. Tapi untuk bisa lebih bisa dirasakan semua pihak, semua kalangan, emang masih PR,” ujar Ucup.
Ia sendiri aktif memanfaatkan ruang publik: rutin olahraga di taman, Car Free Day, dan ikut komunitas lari. “Semakin banyak orang yang pakai ruang publik buat aktivitas positif, makin kelihatan ke pemerintah kalau ini penting dan harus ditambahin fasilitasnya,” ujarnya.
Ia juga berharap pemerintah menambah ruang terbuka hijau dan mengadakan lebih banyak event olahraga gratis untuk mendorong gaya hidup sehat. “Pemerintah perlu hadir lebih dekat, gak cuma bangun proyek besar, tapi juga bikin warganya ngerasa dimudahin buat hidup lebih sehat dan aktif,” tambahnya.
Baca juga: Tiga Bulan Terakhir, Kualitas Udara Jabodetabek Masuk Kategori Tidak Sehat
Terakhir, Rifki (24), warga Jakarta Barat, berharap Jakarta menjadi kota yang mengedepankan kualitas hidup dan kualitas lingkungan.
“Bukan hanya sekadar fokus pada pertumbuhan ekonomi yang mengorbankan kualitas lingkungan. Tapi tentunya semua butuh dukungan dari semua pihak, tidak bisa hanya satu sektor yang berjalan sendiri,” ujar Rifki.
Jakarta yang ramah kaki, ramah hati, dan ramah paru mungkin tidak bisa hadir sekejap. Tapi dari upaya warga yang konsisten, dan keberpihakan kebijakan yang nyata, arah perubahan bisa dijaga sehingga Jakarta ramah kaki, ramah hati dan ramah paru bisa terwujud.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya