Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

568 Sarang Diteliti dan Terkuaklah, Banyak Anak Burung Mati Tercekik Plastik

Kompas.com, 18 Juli 2025, 18:34 WIB
Monika Novena,
Yunanto Wiji Utomo

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Studi baru mengungkap bahwa sampah harian seperti tali dan kantong plastik diam-diam membunuh anak burung, baik di laut maupun di darat.

Temuan tersebut didapat setelah peneliti menghabiskan empat tahun memantau burung bangau putih di Portugal selatan.

Apa yang mereka temukan sungguh mengenaskan: sarang-sarang yang penuh plastik, anak-anak burung yang terjerat tali, dan banyak anak burung yang tidak dapat bertahan hidup.

Penelitian ini dipimpin oleh para ilmuwan di Universitas East Anglia, bersama dengan tim dari Universitas Montpellier dan Universitas Lisbon.

Mengutip Earth, Kamis (18/7/2025) para peneliti memeriksa 568 sarang dari 32 koloni di wilayah Alentejo dan Algarve, Portugal. Dari sarang-sarang tersebut, 91 persen berisi puing-puing buatan manusia dan sebagian besar plastik.

Plastik lunak seperti kantong belanja ditemukan di 65 persen sarang. Namun, bahaya yang lebih besar adalah tali. Hampir separuh sarang memilikinya, dan merupakan penyebab utama terjeratnya anak burung hingga tewas.

Baca juga: 2 Orang Ditangkap karena Bawa Ratusan Burung, Termasuk 112 Ekor yang Dilindungi

Dalam satu tahun studi yang sangat rinci, para ilmuwan mengunjungi 93 sarang setiap minggu. Mereka menemukan bahwa 12 persen anak burung terjerat puing-puing dan berakibat fatal.

Peneliti menemukan anak bangau lebih rentan terjerat jika sarangnya banyak tali, dan jika sudah terjerat, kemungkinan mereka untuk selamat sangat kecil.

Sebagian besar tali berasal dari pertanian khususnya, benang baler yang terbuat dari polipropilena.

Tali plastik yang kuat ini digunakan untuk mengikat bal jerami, tetapi tidak mudah rusak. Setelah berakhir di lingkungan, burung mengumpulkannya untuk sarang mereka.

"Ini masalah serius. Anak burung ini terjerat tali sintetis saat masih sangat muda dan tali tersebut perlahan-lahan mencekik anggota tubuh seiring pertumbuhan mereka yang menyebabkan nekrosis dan amputasi. Mereka mengalami kematian yang mengerikan," kata Profesor Aldina Franco dari Universitas East Anglia.

Ini tidak hanya terjadi di Portugal. Menurut Franco, burung-burung di seluruh Eropa menganyam sampah plastik ke dalam sarang mereka.

“Kami menunjukkan bahwa dampak plastik di sarang dapat diremehkan, karena efek negatif dari tali dan material buatan manusia lainnya cenderung terjadi pada awal kehidupan anak burung, rata-rata pada usia dua minggu, dan kematiannya dapat luput dari perhatian,” papar Profesor Franco.

Baca juga: Dampak Krisis Iklim, 500 Spesies Burung Diperkirakan Punah dalam Satu Abad

Bangau putih disebut oleh para ilmuwan sebagai “spesies indikator” yang berarti mereka dapat menandakan masalah lingkungan yang lebih luas. Jika sebanyak ini dari mereka terjebak dalam plastik, kemungkinan besar burung lain juga mengalaminya.

“Studi ini menunjukkan bahwa ancaman yang ditimbulkan oleh material buatan manusia terhadap burung darat mungkin jauh lebih parah daripada yang diketahui sebelumnya,” papar penulis utama Ursula Heinze dari Universitas East Anglia.

Halaman:

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
AGII Dorong Implementasi Standar Keselamatan di Industri Gas
AGII Dorong Implementasi Standar Keselamatan di Industri Gas
LSM/Figur
Tak Niat Atasi Krisis Iklim, Pemerintah Bahas Perdagangan Karbon untuk Cari Cuan
Tak Niat Atasi Krisis Iklim, Pemerintah Bahas Perdagangan Karbon untuk Cari Cuan
Pemerintah
Dorong Gaya Hidup Berkelanjutan, Blibli Tiket Action Gelar 'Langkah Membumi Ecoground 2025'
Dorong Gaya Hidup Berkelanjutan, Blibli Tiket Action Gelar "Langkah Membumi Ecoground 2025"
Swasta
PGE Manfaatkan Panas Bumi untuk Keringkan Kopi hingga Budi Daya Ikan di Gunung
PGE Manfaatkan Panas Bumi untuk Keringkan Kopi hingga Budi Daya Ikan di Gunung
BUMN
PBB Ungkap 2025 Jadi Salah Satu dari Tiga Tahun Terpanas Global
PBB Ungkap 2025 Jadi Salah Satu dari Tiga Tahun Terpanas Global
Pemerintah
Celios: RI Harus Tuntut Utang Pendanaan Iklim Dalam COP30 ke Negara Maju
Celios: RI Harus Tuntut Utang Pendanaan Iklim Dalam COP30 ke Negara Maju
LSM/Figur
Kapasitas Tanah Serap Karbon Turun Drastis di 2024
Kapasitas Tanah Serap Karbon Turun Drastis di 2024
Pemerintah
TFFF Resmi Diluncurkan di COP30, Bisakah Lindungi Hutan Tropis Dunia?
TFFF Resmi Diluncurkan di COP30, Bisakah Lindungi Hutan Tropis Dunia?
Pemerintah
COP30: Target Iklim 1,5 Derajat C yang Tak Tercapai adalah Kegagalan Moral
COP30: Target Iklim 1,5 Derajat C yang Tak Tercapai adalah Kegagalan Moral
Pemerintah
Trend Asia Nilai PLTSa Bukan EBT, Bukan Opsi Tepat Transisi Energi
Trend Asia Nilai PLTSa Bukan EBT, Bukan Opsi Tepat Transisi Energi
LSM/Figur
4.000 Hektare Lahan di TN Kerinci Seblat Dirambah, Sebagiannya untuk Sawit
4.000 Hektare Lahan di TN Kerinci Seblat Dirambah, Sebagiannya untuk Sawit
Pemerintah
Muara Laboh Diperluas, Australia Suntik Rp 240 Miliar untuk Geothermal
Muara Laboh Diperluas, Australia Suntik Rp 240 Miliar untuk Geothermal
Pemerintah
Bisa Suplai Listrik Stabil, Panas Bumi Lebih Tahan Krisis Iklim Ketimbang EBT Lain
Bisa Suplai Listrik Stabil, Panas Bumi Lebih Tahan Krisis Iklim Ketimbang EBT Lain
Swasta
BCA Ajak Penenun Kain Gunakan Pewarna Alami untuk Bidik Pasar Ekspor
BCA Ajak Penenun Kain Gunakan Pewarna Alami untuk Bidik Pasar Ekspor
Swasta
Investasi Energi Terbarukan Capai Rp 21,64 Triliun, REC Dinilai Bisa Percepat Balik Modal
Investasi Energi Terbarukan Capai Rp 21,64 Triliun, REC Dinilai Bisa Percepat Balik Modal
Pemerintah
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau