Kompas.com - 29/10/2021, 19:52 WIB
Yogarta Awawa Prabaning Arka,
Agung Dwi E

Tim Redaksi

KOMPAS.com – Perubahan iklim menjadi permasalahan serius dalam satu dasawarsa belakangan. Sejumlah laporan dari lembaga pemantau cuaca dan iklim pun menyebut periode sepuluh tahun terakhir sebagai masa terpanas semenjak perubahan suhu di bumi tercatat 140 tahun lalu.

Akibat perubahan iklim, beberapa wilayah di dunia mengalami bencana alam ekstrem, seperti badai tropis dan gelombang panas.

Dirangkum dari sejumlah sumber, kota punya andil besar terhadap emisi gas rumah kaca (GRK) yang menjadi penyebab perubahan iklim. Dari total keseluruhan GRK yang dilepaskan ke atmosfer, 75 persen di antaranya berasal dari kota.

Selain soal GRK, kota juga punya sejumlah masalah lain, seperti urbanisasi, pertumbuhan penduduk, penggunaan energi, pengelolaan limbah, dan air bersih. Hal ini bakal turut memperburuk kondisi penduduk kota, lingkungan, dan bumi bila tak segera tak diatasi.

Guna mengatasi permasalahan kota dan juga perubahan iklim, pembangunan dan penataan kota menjadi hal penting yang perlu diperhatikan.

Kepala Badan Pengembangan Infrastruktur Wilayah (BPIW) Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Hadi Sucahyono mengatakan bahwa pada 2030, wajah berbagai kota di Indonesia akan memperhatikan beberapa aspek. Aspek tersebut adalah keberlanjutan sosial, ekonomi, dan lingkungan.

Hal tersebut diwujudkan melalui pembangunan kota dengan pengelolaan limbah terpadu, karbon rendah, serta ketersediaan ruang hijau publik. Tak hanya itu, dibutuhkan pula sistem transportasi terintegrasi dan menjamin keselamatan pengguna jalan.

Untuk menuju ke sana, lanjut Hadi, Indonesia perlu mempercepat pembangunan infrastruktur, terutama di perkotaan. Pasalnya, saat ini lebih dari 50 persen masyarakat tinggal di perkotaan.

“BPIW telah melakukan perencanaan dan pemrograman pembangunan infrastruktur terpadu untuk beberapa kawasan perkotaan, seperti metropolitan, kota baru, kota perbatasan, serta kota yang tangguh terhadap bencana. Hal itu dilakukan untuk mempercepat pembangunan kota berkelanjutan,” kata Hadi, sebagaimana dikutip dari laman https://bpiw.pu.go.id, Sabtu (1/08/2020).

Lalu apa saja karakteristik kota berkelanjutan? Dirangkum dari berbagai sumber, sebuah kota bisa disebut berkelanjutan bila memiliki sepuluh karakteristik berikut.

1. Transportasi publik ramah lingkungan dan murah

Sektor transportasi perlu jadi prioritas dalam pengembangan kota berkelanjutan. Setidaknya, kota berkelanjutan mesti menyediakan transportasi publik ramah lingkungan yang murah. Moda transportasi ini juga harus mudah dijangkau oleh masyarakat kota.

Dengan demikian, emisi GRK bisa ditekan karena penggunaan kendaraan pribadi berbahan bakar petrol berkurang. Adapun beberapa contoh transportasi publik ramah lingkungan adalah kereta maglev, bus listrik, dan kereta listrik.

2. Ketersediaan infrastruktur untuk pejalan kaki dan pesepeda

Seperti diketahui, salah satu cara terbaik mengurangi emisi GRK adalah mengurangi penggunaan kendaraan berbahan petrol. Sebagai pengganti, masyarakat kota bisa berjalan kaki atau bersepeda.

Saat ini, aktivitas bersepeda sudah menjadi gaya hidup banyak orang. Bahkan, sepeda digunakan sebagai transportasi ke kantor. Untuk mendukung hal ini, pemerintah perlu menyiapkan infrastruktur yang aman dan nyaman bagi pesepeda dan juga pejalan kaki.

Beberapa infrastruktur tersebut adalah jembatan penyeberangan, jaringan jalur sepeda terintegrasi, dan jalur pedestrian.

Selain infrastruktur, pemerintah juga perlu membuat regulasi yang melindungi pesepeda dan pejalan kaki. Insentif fiskal juga bisa jadi opsi untuk menggiatkan budaya bersepeda dan berjalan kaki.

3. Penggunaan kendaraan ramah lingkungan dan infrastruktur stasiun pengisian ulang

Saat ini, sejumlah negara tengah menggencarkan penggunaan kendaraan listrik untuk mengurangi emisi GRK, termasuk Indonesia.

Agar berkelanjutan, pengembangan kota sudah seyogianya menyediakan infrastruktur pengisian baterai listrik umum (SPKLU) yang tepat agar tidak menimbulkan kemacetan.

Selain kendaraan listrik, ekosistem kendaraan berbahan bakar sel hidrogen juga perlu dipersiapkan, termasuk juga infrastruktur isi ulang hidrogen.

4. Penggunaan listrik dari tenaga surya

Penggunaan listrik dari tenaga surya mampu meningkatkan kualitas udara di kota sekaligus menyediakan energi terbarukan untuk warga dan fasilitas kota.

Bahkan, penggunaan energi itu juga bisa membuka lapangan kerja baru. Di Amerika Serikat (AS), terdapat 110.000 pekerjaan baru muncul dari pemanfaatan energi surya.

Pemerintah bisa membuat pembangkit listrik energi surya agar bisa dimanfaatkan oleh masyarakat kota yang tidak bisa membeli panel surya sendiri. Dengan demikian, listrik dari sumber energi terbarukan bisa dimanfaatkan semua penduduk kota.

5. Pengaplikasian bangunan hijau

Bangunan hijau dengan konsep life cycle yang baik mampu mengurangi emisi GRK sebesar 32 persen. Biasanya, bangunan berkonsep hijau membutuhkan lebih sedikit perawatan. Tagihan air dan listriknya pun lebih murah dibandingkan bangunan konvensional.

Setidaknya, terdapat lima komponen yang mesti dimiliki bangunan berkonsep hijau. Pertama, memiliki sistem pemanas dan pendingin cerdas. Kedua, bangunan dibuat dari bahan alami. Ketiga, memiliki ventilasi udara bagus. Keempat, punya panel surya atau terhubung dengan listrik ramah lingkungan. Kelima, memiliki atap hijau.

6. Produksi makanan ramah lingkungan

The World Research Institute memperkirakan bahwa produksi makanan akan meningkat 50 persen pada 2050. Agar emisi GRK berkurang, proses produksi tersebut harus mengedepankan prinsip ramah lingkungan.

Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah membangun sistem pertanian perkotaan. Pemerintah dapat menjalin kerja sama dengan perusahaan atau organisasi yang perhatian terhadap produksi makanan ramah lingkungan.

7. Penyediaan fasilitas publik yang mudah diakses

Kota berkelanjutan juga mesti menyediakan fasilitas publik yang mudah diakses dan juga mendukung keberlanjutan masyarakatnya. Fasilitas ini terdiri dari rumah sakit, sekolah, pusat pengembangan ekonomi dan teknologi, serta penunjang lainnya.

Selain itu, fasilitas untuk rekreasi, seperti museum dan pusat kebudayaan, juga penting untuk disediakan. Fasilitas ini dapat membantu kota dalam menentukan identitasnya.

Fasilitas tersebut juga dapat menjadi venue acara budaya untuk mempromosikan keberagaman, toleransi, dan inklusivitas di kota.

8. Konservasi air yang memadai

Kota dengan konsep berkelanjutan memiliki sistem pengelolaan air yang cerdas. Penyediaan sistem ini juga dapat berfungsi sebagai mitigasi terhadap potensi bencana alam akibat perubahan iklim.

Selain itu, kota berkelanjutan juga diharapkan memiliki infrastruktur sumber air bersih yang memanfaatkan siklus air alami. Infrastruktur ini menggantikan instalasi pengolahan air konvensional.

Konservasi air bisa dilakukan dengan menghijaukan kembali daerah resapan air atau aliran sungai.

9. Keberadaan ruang terbuka hijau publik

Elemen ini menjadi salah satu prioritas dalam membangun kota berkelanjutan. Pasalnya, ruang terbuka hijau (RTH) dapat membantu meringankan berbagai masalah pada perkotaan, seperti pengendalian polusi, kesehatan masyarakat, dan meningkatkan kualitas udara.

Kemudian, kota bisa pula dilengkapi dengan ruang pertanian dan perkebunan urban (garden dan urban farm) bagi masyarakat. Ruang ini dapat dimanfaatkan sebagai tempat berkebun gratis atau terjangkau bagi masyarakat kota.

10. Pengelolaan sampah berkelanjutan

Ketimbang diolah di tempat pembuangan akhir (TPA), sampah sebaiknya dikelola secara sirkular atau daur ulang. Contohnya, sampah organik didaur ulang menjadi kompos dan pengolahan limbah kota untuk dijadikan sumber energi.

Pengelolaan sampah berkelanjutan juga bisa dilakukan dengan meminimalisasi penggunaan kertas. Misalnya, pada institusi pemerintahan dan perkantoran, penggunaan kertas diminimalisasi dan beralih ke digital.

Pembangunan kota berkelanjutan butuh pembiayaan yang berkelanjutan pula

Sebagai salah satu bank terbesar di Asia, UOB Indonesia berkomitmen mewujudkan pembangunan berkelanjutan melalui UOB's Sustainable Finance Frameworks. Framework ini terdiri dari Green Trade Finance Framework, Smart City Sustainable Finance Framework (SCSFF), Real Estate Sustainable Finance Framework, dan Green Circular Economy Framework.

Khusus pembangunan kota berkelanjutan, UOB Indonesia memiliki kerangka SCSFF. Framework ini menyediakan pembiayaan khusus bagi perusahaan dan institusi dalam pengembangan kota pintar.

Untuk diketahui, kerangka SCSFF menetapkan berbagai kriteria yang harus dipenuhi klien korporasi dan institusi saat mengakses berbagai produk UOB Indonesia.

Kriteria tersebut adalah mewajibkan perusahaan memiliki strategi dan tujuan keberlanjutan yang jelas. Selain itu, perusahaan juga harus dapat menunjukkan ragam aktivitas berkelanjutan yang mendorong perbaikan kualitas hidup masyarakat.

Ragam aktivitas berkelanjutan bisa melalui penggunaan energi terbarukan, peningkatan efisiensi energi, transportasi ramah lingkungan, konstruksi bangunan ramah lingkungan, pengelolaan air dan limbah yang berkelanjutan, serta adaptasi terhadap perubahan iklim.

Pihak UOB Indonesia yakin bahwa dukungan pembiayaan tersebut dapat mendorong pembangunan kota berkelanjutan. Terlebih, perusahaan dan institusi sudah mulai mempercepat agenda pembangunan berkelanjutan.

Artikel ini merupakan bagian pertama dari Seri “Membangun Kota yang Berkelanjutan” hasil kolaborasi dengan UOB Indonesia.

UOB Indonesia UOB Indonesia

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com