KOMPAS.com – Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati memprediksi, ekonomi dunia, termasuk Indonesia, akan menghadapi resesi pada 2023.
Hal itu mengacu pada studi Bank Dunia (World Bank) yang menyebutkan bahwa kebijakan pengetatan moneter yang dilakukan oleh bank-bank sentral di dunia akan berimplikasi pada krisis pasar keuangan dan pelemahan ekonomi.
“Jika bank sentral di seluruh dunia melakukan peningkatan suku bunga secara cukup ekstrem dan bersama-sama, dunia pasti mengalami resesi pada 2023,” ujar Sri Mulyani seperti diberitakan Kompas.com, Senin (27/9/2022).
Dikutip dari laman Otoritas Jasa Keuangan (OJK), resesi didefinisikan sebagai perburukan kondisi ekonomi negara. Hal ini terlihat dari kontraksi produk domestik bruto (PDB), peningkatan angka pengangguran, dan pertumbuhan ekonomi riil yang negatif selama dua kuartal secara berturut-turut.
Di tengah ancaman resesi, penerapan ekonomi hijau (green economy) dinilai dapat menjadi jawaban untuk penguatan ekonomi global.
Sebagai informasi, ekonomi hijau merupakan gagasan perekonomian yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan, menciptakan inklusivitas global, dan mengurangi risiko kerusakan lingkungan.
Selain itu, ekonomi hijau juga berusaha menciptakan perekonomian yang tidak menghasilkan emisi karbon atau net zero emission (NZE) dan hemat dalam memanfaatkan sumber daya.
Pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Asia-Pacific Economic Cooperation yang digelar di Bangkok, Thailand, Jumat (18/11/2022), Presiden Joko Widodo mengatakan bahwa penerapan ekonomi hijau merupakan masa depan ekonomi kawasan.
“Saat ini, sekitar 90 miliar dollar AS sudah digunakan untuk membangun berbagai proyek hijau di kawasan Asia-Pasifik,” ujar Jokowi seperti diberitakan laman resmi Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Minggu (20/11/2022).
Jokowi juga menegaskan bahwa pemerintah menyambut baik inisiatif Thailand dalam The Bangkok Goals for the Bio-Circular-Green Economy.
Baca juga: Ekosistem Kendaraan Listrik di Indonesia Dikembangkan demi Kurangi Emisi GRK
Menurutnya, inisiatif tersebut akan membuka akses terhadap pembiayaan, teknologi, inovasi, dan penguatan kapasitas. Dengan demikian, penguatan ekonomi di negara-negara Asia-Pasifik, termasuk Indonesia, dapat tercipta.
Hal senada juga dituturkan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Suharso Monoarfa pada CEO Live Series #2 bertajuk “Pengembangan Ekonomi Hijau dan Urgensi Program Keberlanjutan” yang digelar di Jakarta, Rabu (23/11/2022).
Suharso mengatakan bahwa ekonomi hijau dapat menjaga keberlangsungan ekonomi di masa depan. Terlebih, kondisi ekonomi saat ini mendorong sejumlah negara ke jurang resesi.
“Pengadopsian strategi ekonomi hijau dapat membuka peluang baru, baik bagi tenaga kerja maupun model bisnis,” ucap Suharso seperti diberitakan Kompas.com, Rabu.
Suharso melanjutkan, kolaborasi antara pemerintah dan sektor swasta diperlukan untuk mengakselerasi penerapan ekonomi hijau. Selain itu, kebijakan dan regulasi ekonomi hijau yang dibuat juga perlu mengukur aspek ramah lingkungan.
“Diperlukan kolaborasi antara pemerintah serta pelaku bisnis untuk menghadapi tantangan dan memanfaatkan peluang dari implementasi ekonomi hijau,” tambah dia.
Suharso menilai, skema pendanaan, seperti blended finance dan insentif, dapat mendorong investasi hijau sekaligus daya saing di sektor investasi hijau.
“Tantangannya (adalah) diperlukan investasi besar. Tidak ada lagi pembiayaan konvensional. Dengan demikian, peluang bisnis baru tercipta dan emisi karbon pun menurun,” tegas Suharso.
Sejalan dengan upaya tersebut, sektor perbankan dinilai memiliki peran penting dalam mempercepat penerapan ekonomi hijau kawasan Asia Tenggara, termasuk di Indonesia.
Sektor itu berfungsi menjadi katalis keuangan untuk menerapkan sistem ekonomi yang fokus pada pemerataan kesejahteraan dan ramah lingkungan tersebut.
Sebagai salah satu pemain penting dalam sektor perbankan, UOB menegaskan komitmennya untuk mendukung penerapan ekonomi hijau di Indonesia. Komitmen ini juga mencakup dukungan terhadap pemerintah untuk mencapai target NZE pada 2050.
Deputy Chairman dan Chief Executive Officer UOB Wee Ee Cheong mengatakan, pencapaian target NZE harus mempertimbangkan tantangan sosial ekonomi.
“Saat mengurangi jejak karbon, kami harus memastikan bahwa kehidupan dan mata pencaharian masyarakat dapat membaik. Keseimbangan antara kedua aspek itu merupakan hal penting,” ujar Wee dalam siaran pers yang diterima Kompas.com, Rabu (17/11/2022).
Wee menjelaskan, target UOB dalam mencapai NZE meliputi dua rantai dan enam sektor. Adapun komitmen ini mencakup sekitar 60 persen dari portofolio pinjaman korporasi.
Rantai pertama adalah nilai energi. Rantai ini, memiliki tiga sektor. Pertama adalah listrik. Pada sektor ini, UOB mendukung upaya pengurangan emisi karbon hingga 61 persen pada 2030 dan 98 persen pada 2050.
Kedua, otomotif. Pada sektor ini, UOB mendukung upaya penurunan emisi karbon sebesar 58 persen pada 2030 dan nol bersih emisi pada 2050.
Ketiga adalah sektor minyak dan gas (migas). Khusus sektor ini, UOB berkomitmen untuk meniadakan pembiayaan proyek baru pada sektor hulu migas, baik yang disetujui maupun dikembangkan setelah 2022.
Baca juga: Sektor Perbankan Jadi Kunci Penting dalam Penerapan Green Economy
Rantai kedua yang menjadi target UOB dalam mencapai NZE adalah nilai lingkungan. Rantai ini pun memiliki tiga sektor.
Pertama, real estat. Pada sektor ini, UOB berkomitmen untuk mengurangi emisi karbon sebesar 36 persen pada 2030 dan 97 persen pada 2050.
Kedua, sektor konstruksi. Melalui sektor ini, UOB menegaskan untuk mengurangi emisi karbon sebesar 31 persen pada 2030 dan 85 persen pada 2050.
Ketiga adalah sektor baja. Penurunan emisi karbon pada sektor ini ditargetkan dapat mencapai 20 persen pada 2030 dan 92 persen pada 2050.
Wee mengatakan, pihaknya tak menutup kemungkinan akan memperluas sektor dan target tersebut seiring kondisi iklim global. Terlebih, ketika perekonomian dunia dihadapkan dengan resesi.
Sebagai bentuk komitmen dekarbonisasi regional dan global, UOB telah bergabung dengan Net-Zero Banking Alliance (NZBA). Adapun NZBA adalah forum bagi bank-bank di seluruh dunia yang berkomitmen untuk mendukung pencapaian NZE.
Saat ini, sebanyak 121 bank dari 41 negara dengan aset perbankan mencapai 70 triliun dollar AS telah bergabung dengan NZBA.
Untuk diketahui, demi melacak kemajuan komitmen NZE perusahaan #OneBankForASEAN itu, UOB melakukan pelaporan tahunan secara berkala.
Laporan tersebut dan informasi lain seputar inisiatif UOB dalam mengupayakan NZE dapat diakses pada laman berikut.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya