KOMPAS.com – Pemanfaatan energi terbarukan dan bersih merupakan hal penting dalam membangun kota berkelanjutan. Penggunaan energi ini dapat mengurangi emisi karbon hingga nol atau zero carbon. Ini berarti, kualitas udara kota bisa semakin membaik.
Kemudian, lingkungan juga dapat ikut membaik karena aktivitas penambangan untuk pemenuhan energi fosil semakin berkurang.
Dari sekian pilihan, surya atau matahari dinilai sebagai sumber energi terbarukan paling berkelanjutan. Paparan sinar matahari takkan habis untuk waktu sekian abad.
Adapun untuk dapat “memanen” energi dari sinar matahari, dibutuhkan panel surya. Panel ini menjadi pembangkit listrik yang akan menghidupkan kota.
Cara panel tersebut bekerja cukup sederhana. Panel akan menyerap cahaya matahari menggunakan sel fotovoltaik (PV) untuk kemudian diubah menjadi listrik.
Dilansir dari Forbes.com, Selasa (26/1/2021), sel surya PV terletak di antara lapisan bahan semikonduktor yang umumnya berbahan silikon. Ketika cahaya menyinari panel tersebut, elektron akan terlepas dan menciptakan aliran listrik.
Sebagai salah satu negara tropis dengan paparan sinar matahari yang melimpah ruah sepanjang tahun, Indonesia memiliki potensi untuk memanfaatkannya sebagai sumber listrik.
Hal tersebut diungkap dalam penelitian yang dilakukan oleh sejumlah ilmuwan 100% Renewable Energy Australian National University College of Engineering and Computer Science pada 2020.
Salah satu anggota tim peneliti, David Firnando Silalahi, mengungkapkan bahwa Indonesia sebenarnya mampu menghasilkan 100 persen listrik yang berasal dari energi terbarukan seperti sinar matahari.
Dalam kalkulasi penelitian tersebut, setidaknya Indonesia dapat menghasilkan 640.000 terrawatt per jam (TWh) hanya dari pembangkit listrik tenaga surya (PLTS). Produksi listrik ini setara dengan 2.300 kali produksi listrik pada 2019.
Meski memiliki potensi besar, David mengungkapkan bahwa investasi pada sektor energi baru terbarukan (EBT) di Indonesia masih tergolong rendah.
Berdasarkan laporan BloombergNEF, Bloomberg Philantropies, dan Institute for Essential Service Reform berjudul “Scaling up Solar in Indonesia: Reform and Opportunity 2021”, Indonesia baru memanfaatkan 1 persen dari potensi energi surya.
Padahal, potensi energi surya Indonesia dapat menarik dana investasi hingga 14.4 miliar dollar Amerika Serikat (AS). Dengan investasi ini, target total bauran energi baru terbarukan sebesar 23 persen pada 2025 bisa dipenuhi.
“(Karena investasi kecil), kontribusi energi surya pada 2019 hanya mencapai 1,7 persen dari total produksi listrik Indonesia,” terang David seperti dikutip dari The Conversation, Rabu (28/9/2020).
David juga menjelaskan, untuk menghasilkan 100 persen listrik yang berasal dari energi terbarukan, terdapat empat hal yang perlu dilakukan pemerintah Indonesia.
Pertama, pemerintah menyiapkan PLTS dengan total kapasitas 1.500 gigawatt (GW) agar konsumsi per kapita mampu mencapai 7,7 megawatt per jam (MWh) atau setara 2.600 TWh.
Kedua, pembangunan PLTS berkapasitas 1.500 GW membutuhkan lahan sekitar 8.000 kilometer persegi atau setara 0,4 persen dari total lahan di Indonesia.
Selain di lahan terbuka, luasan area PLTS tersebut bisa disiasati dengan memanfaatkan permukaan air. Jadi, PLTS dibuat mengapung di atas permukaan air. Dengan strategi ini, kebutuhan lahan PLTS hanya membutuhkan sekitar 0,1 persen dari total lahan di Indonesia.
Ketiga, percepatan pembangunan PLTS harus dimulai pada 2021. Selain itu, pemerintah harus menjamin pembangunan PLTS sebesar 50 GW per tahun dan terkoneksi ke jaringan Perusahaan Listrik Negara (PLN).
Keempat, pemerintah perlu menerapkan kebijakan harga bersahabat bagi pelanggan dan penyedia listrik. Hal ini bertujuan untuk mendorong pengembangan energi terbarukan di Indonesia.
Pemerintah sendiri menyadari bahwa bauran EBT masih kecil. Khusus listrik dari PLTS Atap, menurut catatan Kementerian ESDM per Juli 2021, jumlah penggunanya baru 4.028 pelanggan dengan kapasitas total 35,56 megawatt peak (MWp).
Oleh karena itu, pemerintah berkomitmen untuk mendorong peningkatan industri serta pembangunan infrastruktur PLTS dengan menyiapkan road map.
Road map tersebut tertuang dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030 yang disusun oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan PLN.
Dalam RUPTL tersebut dijelaskan bahwa pembangkit listrik berbasis EBT diproyeksikan mencapai sekitar 51,6 persen atau lebih banyak dari energi fosil.
Diberitakan Kompas.com, Minggu (12/9/2021), keberadaan program tersebut bertujuan membantu Indonesia mencapai target pengembangan PLTS Atap sebesar 3,6 GW pada 2025.
Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Dadan Kusdiana mengatakan, pihaknya telah berkomunikasi dengan Kementerian Perindustrian terkait kesiapan industri penunjang PLTS saat ini.
"Dengan angka sekarang, kami punya 22 atau 26 pabrikan yang siap dengan kapasitas total (produksi listrik) 500 MW. Tujuan pengembangan PLTS Atap hingga 2025 adalah untuk membuka pasar dalam negeri. Kalau pasar dalam negeri makin besar, investasi akan bertambah baik, mulai dari industri laminating solar panel atau juga ke sisi hulu yang pembuatan cell-nya sekarang masih impor," ujar Dadan seperti diberitakan Kontan.co.id, Selasa (31/8/2021).
Dadan pun optimistis bahwa penambahan PLTS atap juga dapat menekan penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) hingga 3,2 juta ton CO2e pada 2030.
Demi mewujudkan upaya tersebut, pemerintah akan melakukan penambahan kapasitas PLTS secara bertahap hingga 2,14 GW.
Adapun pembangunan PLTS tersebut menyasar ke berbagai sektor, seperti Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sebesar 742 MW, industri dan bisnis 624,2 MW, rumah tangga 648,7 MW, pelanggan PLN dan kelompok sosial 68,8 MW, serta gedung pemerintah 42,9 MW.
Maka dari itu, saat ini pemerintah tengah menyelaraskan regulasi melalui Peraturan Presiden tentang Tarif Listrik EBT dan revisi Peraturan Menteri ESDM untuk menarik lebih banyak pihak menggunakan energi terbarukan.
Penggunaan panel surya dapat berdampak positif pada pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja.
Menurut Dadan, dampak tersebut muncul dari pengembangan PLTS secara bertahap yang ditargetkan oleh pemerintah.
Seperti diberitakan Kontan.co.id, Sabtu (28/8/2021), penggunaan energi surya dapat menghemat konsumsi batu bara sekitar 3 juta ton, menyerap tenaga kerja hingga 121.500 orang, serta meningkatkan investasi meliputi pembangunan fisik PLTS sebesar Rp 45 triliun hingga Rp 63,7 triliun dan untuk pengadaan kWh ekspor-impor sebesar Rp 2,04 triliun hingga Rp 4,08 triliun.
Tak hanya itu, melansir laman esdm.go.id, Jumat (27/8/2021), Kementerian ESDM juga memproyeksikan bahwa pemanfaatan PLTS ikut menurunkan subsidi dan kompensasi listrik.
Keberadaan PLTS sebesar 3,6 GW dapat menurunkan biaya pokok penyediaan (BPP) listrik hingga Rp 12,61 per kWh.
Besaran tersebut berasal dari penurunan subsidi sebesar Rp 900 miliar dan kompensasi sebesar Rp 2,7 triliun. Pengembangan PLTS Atap dinilai juga bakal mendorong kebutuhan industri akan green product.
"Green product dapat mendukung terciptanya industri yang lebih hijau sebagaimana disampaikan oleh Presiden Joko Widodo. Salah satu stream utama dari pemulihan ekonomi adalah pengembangan ekonomi hijau," ujar Dadan.
Untuk mewujudkan RUPTL, pemerintah membutuhkan kerja sama dari berbagai sektor, salah satunya sektor pembiayaan dan perbankan.
Sebagai salah satu bank terbesar Asia, UOB Indonesia siap membantu pemerintah Indonesia dalam membangun infrastruktur PLTS melalui program U-solar.
Sebagai informasi, U-Solar merupakan program yang dirancang untuk kebutuhan individu dan pelaku industri.
U-Solar bertujuan untuk meningkatkan potensi penghematan biaya listrik sekaligus berperan menjaga keseimbangan lingkungan.
Sejauh ini, UOB Indonesia telah memfasilitasi pemasangan pembangkit listrik tenaga surya dengan total kapasitas 163,9 GW di empat negara.
Jumlah tersebut sebanding dengan pengurangan emisi GRK lebih dari 81.500 ton, penanaman 1,35 juta bibit pohon baru selama 10 tahun, dan pengurangan terhadap 17.737 mobil.
Adapun program U-Solar mencakup semua hal terkait pemasangan panel surya, mulai dari pembiayaan hijau untuk rekayasa surya, pengadaan, konstruksi dan contractor commissioning, tarif preferensial untuk paket pemasangan, serta pemeliharaan panel surya untuk pengguna baru.
UOB Indonesia meyakini, U-Solar merupakan cara berkelanjutan untuk menghasilkan lebih banyak listrik tanpa menciptakan limbah atau emisi berbahaya.
UOB Indonesia juga percaya bahwa tenaga surya merupakan sumber energi yang ideal untuk memenuhi kesenjangan permintaan listrik. Khususnya, untuk negara seperti Indonesia yang beriklim tropis dan terus disinari oleh cahaya matahari sepanjang waktu.
Artikel ini merupakan bagian ketiga dari seri Membangun Kota Berkelanjutan hasil kerja sama KG Media dan UOB Indonesia.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya