KOMPAS.com – Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) 2021 atau dikenal COP26 yang digelar di Glasgow, Skotlandia, secara resmi berakhir pada Jumat (12/11/2021).
Pada konferensi tersebut, setidaknya 200 negara menyepakati dan berkomitmen untuk mencegah pemanasan global agar tidak melebihi batas kenaikan 1,5 derajat Celcius dari sebelum masa industri. Selain itu, negara-negara dunia juga seiya sekata untuk menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) dan bertransformasi ke penggunaan energi bersih.
Sekretaris Jenderal Antonio Guterres menuturkan bahwa keputusan dan kesepakatan pada pertemuan COP26 merupakan langkah penting dalam penanganan perubahan iklim.
Meski begitu, ia mengakui bahwa masih terdapat kekurangan dalam kesepakatan tersebut.
“Keputusan itu merupakan langkah penting, tapi (sebenarnya) tidak cukup. Kita harus segera mempercepat aksi iklim agar suhu global tidak naik melebihi 1,5 derajat Celcius,” tutur Antonio Guterres, seperti dikutip dari laman resmi PBB, Sabtu (13/11/2021).
Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) sekaligus perwakilan Indonesia di pertemuan tersebut, Laksmi Dhewanti, juga mengungkapkan hal serupa.
“Meskipun hasilnya tidak sempurna yang diharapkan, yang penting semua negara mau bersama untuk mengimplementasikan,” tuturnya seperti diberitakan Kompas.com, Sabtu.
Indonesia, kata Laskmi, siap menjalankan paket persetujuan COP26 atau Glasgow Climate Pact. Salah satunya terkait komitmen pembaruan target nationally determined contribution (NDC) terhadap penurunan emisi GRK tiap lima tahun.
Indonesia sendiri menargetkan bisa menurunkan GRK pada 2030 sebanyak 29 persen dengan usaha sendiri dan 40 persen melalui bantuan internasional.
Berbicara mengenai penurunan GRK, penerapan green building bisa menjadi salah satu langkah serius untuk menanggulangi pemanasan global.
Laporan penelitian Green Building Council Indonesia (GBCI) dan International Finance Corporation (IFC) pada 2019 menyebutkan bahwa penerapan green building dapat membantu Indonesia memenuhi komitmen NDC.
Pasalnya, emisi karbon pada bangunan konvensional tergolong tinggi. Berdasarkan catatan World Green Building Council (WGBC) pada 2019, sebanyak 39 persen emisi GRK secara global disumbangkan oleh bangunan konvensional.
Hal itu lantaran bangunan konvensional belum memasukkan prinsip efisiensi energi dan penggunaan energi terbarukan seperti green building.
Jumlah emisi GRK dari gedung konvensional bisa saja meningkat bila tidak ada langkah serius. Hal ini mengingat tingkat urbanisasi dan kebutuhan ruang semakin bertambah dari tahun ke tahun.
Di Indonesia sendiri, konsumsi energi terbesar ketiga disumbang oleh bangunan. Jumlahnya mencapai 30 persen dari total konsumsi energi nasional. Jumlah tersebut berpotensi meningkat hingga 40 persen dari total konsumsi energi pada 2030.
Oleh karena itu, penerapan green building diperlukan untuk mencegah peningkatan konsumsi energi pada tahun-tahun mendatang.
Melansir laman Worldgbc.org, bangunan bisa disebut green building bila dibangun dan dijalankan dengan mereduksi atau mengeliminasi efek negatif bagi lingkungan dan iklim.
Efek negatif tersebut bahkan sebisa mungkin diubah menjadi dampak positif. Dengan demikian, bangunan dapat turut menanggulangi masalah perubahan iklim dan memperbaiki kualitas hidup masyarakat.
Setidaknya, terdapat delapan elemen penting pada bangunan hijau. Pertama, efisien dalam menggunakan energi dan air. Kedua, menerapkan energi terbarukan seperti solar.
Ketiga, melakukan pengurangan limbah dan polusi. Khusus limbah, bangunan juga menerapkan sistem re-use dan recycling. Keempat, bangunan memiliki kualitas udara yang bagus.
Kelima, pembangunan menggunakan material berkelanjutan, tidak beracun, dan etis secara lingkungan. Keenam, memperhatikan keberlangsungan lingkungan saat mendesain, membangun, dan mengoperasikan bangunan.
Ketujuh, memperhatikan kualitas penghuni yang tinggal di bangunan. Terakhir, desain dapat beradaptasi terhadap perubahan lingkungan.
Elemen tersebut bisa diterapkan pada semua bangunan, seperti rumah, perkantoran, sekolah, rumah sakit, fasilitas umum, dan pusat bisnis.
Meski demikian, WGBC menekankan bahwa elemen bangunan hijau tidak mesti sama di tiap negara. Elemen ini bisa disesuaikan dengan kekhasan kondisi negara, seperti iklim, kebudayaan, serta kondisi sosial-ekonomi.
Sebagai perwakilan WGBC di Indonesia, Chairperson of Green Building Council Indonesia (GBCI) Iwan Priyanto mengatakan bahwa GBCI akan memberikan sosialisasi dan pemahaman tentang pentingnya bangunan hijau. Pasalnya, hal tersebut akan memberikan manfaat jangka panjang, baik bagi pemerintah, swasta, maupun masyarakat.
Berdasarkan perhitungan United Nations Environment Progamme (UNEP) pada 2016, green building dapat menurunkan emisi GRK hingga 84 gigaton karbon dioksida pada 2050.
Masih dari perhitungan yang sama, energi yang bisa dihemat lewat bangunan hijau mencapai 50 persen. Penghematan ini dapat membantu mencegah kenaikan suhu global hingga 1,5 derajat Celcius seperti Kesepakatan Paris atau Paris Agreement pada 2015.
Selain mampu menurunkan GRK, penerapan green building juga memberikan manfaat positif pada ekonomi dan sosial.
Iwan kembali mengatakan, secara umum penerapan konsep green building dapat memberikan manfaat finansial bagi banyak pihak.
"Mulai dari pemilik bangunan, pengelola kawasan, pemerintah yang memberi subsidi, bank yang menyediakan pendanaan, dan pihak asuransi yang menanggung risiko pengembangan (akan mendapatkan manfaatnya)," ujar Iwan seperti diberitakan Kompas.com, Jumat (15/10/2021).
Bangunan hijau, tambah Iwan, merupakan investasi yang dapat menghasilkan penghematan biaya 35 persen hingga 80 persen. Hal ini bisa didapat dari biaya perawatan.
Dengan durasi ketahanan selama 30-80 tahun, bangunan dengan konsep green building menelan long term cost lebih rendah dibandingkan bangunan konvensional.
Laporan IFC pada 2019 pun mengonfirmasi manfaat penerapan konsep green building. Pembangunan green building di Jakarta dan Bandung mampu menurunkan emisi GRK lebih dari 1 juta metrik ton.
Selain itu, bangunan tersebut membantu menghemat penggunaan listrik sekitar 1,5 juta MWh. Biaya energi yang dihemat mencapai lebih dari 120 juta dollar Amerika Serikat.
Pemerintah sendiri memang tengah mempercepat penerapan green building di Indonesia. Konsep tersebut bakal menjadi prinsip utama dalam mendirikan bangunan, khususnya bangunan untuk pemerintahan.
Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono mengatakan, saat ini, setiap proyek pembangunan yang melibatkan pemerintah dilakukan dengan mengedepankan prinsip green building.
Menurutnya, prinsip tersebut penting diterapkan, terutama di kawasan perkotaan.
“Dengan penataan yang baik di kawasan perkotaan melalui penyediaan infrastruktur, kami optimistis dapat memberikan dukungan pengurangan emisi karbon," kata Basuki seperti diberitakan Kompas.com, Rabu (3/11/2021).
Pemerintah melalui Kementerian PUPR juga sudah menerbitkan peraturan terkait pembangunan infrastruktur ramah lingkungan melalui Permen PUPR Nomor 02/PRT/M/2015 tentang Bangunan Gedung Hijau (BGH).
Selain itu, pemerintah juga sudah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2021 sebagai peraturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung.
Penerapan konsep GBH tersebut diwujudkan dalam pembangunan gedung kantor Kementerian PUPR, pasar tradisional, dan rumah susun. Semua bangunan ini menggunakan prinsip efisiensi energi untuk pengoperasian bangunan gedung.
Direktur Bina Penataan Bangunan Boby Ali Azhari mengatakan, Kementerian PUPR berkomitmen untuk berkontribusi terhadap penanggulangan dampak lingkungan dan mitigasi perubahan iklim yang disebabkan dari penyelenggaraan bangunan gedung.
“Langkah tersebut dimulai dengan menerapkan prinsip-prinsip bangunan hijau. Sebagai contoh, pembangunan Gedung Utama Kementerian PUPR mampu menghemat konsumsi listrik hingga 60 persen terhadap standar konsumsi energi nasional dan menghemat hingga 35 persen konsumsi air terhadap standar nasional,” kata Boby seperti mengutip laman resmi Kementerian PUPR, Senin (15/3/2021).
Melalui langkah tersebut, proyek yang dijalankan pemerintah diharapkan dapat menghasilkan pembangunan berkelanjutan dan juga ramah lingkungan.
Selain bangunan milik negara, pemerintah pun mendorong pihak swasta untuk menciptakan bangunan hijau sebagaimana Permen PUPR tersebut. Dorongan ini diwujudkan dengan pemberian sejumlah insentif, seperti kemudahan perizinan, dukungan teknis, dan keringanan retribusi.
Nantinya, bangunan yang sesuai dengan prinsip bangunan hijau akan diberikan sertifikasi dan penghargaan.
Dalam menghadirkan keberadaan bangunan hijau, sektor perbankan memiliki peran sentral. Pasalnya, bangunan hijau membutuhkan investasi tak sedikit. Oleh karena itu, sektor perbankan dapat berperan dengan memberikan layanan pembiayaan.
Salah satu bank yang memiliki layanan pembiayaan pembangunan bangunan hijau adalah UOB Indonesia. Adapun UOB Indonesia mempunyai program U-Energy untuk membantu pihak-pihak yang ingin membangun green building.
Sebagai informasi, U-Energy merupakan sebuah platform pembiayaan terintegrasi untuk mendorong pengembangan dan penerapan proyek efisiensi energi untuk bangunan dan rumah.
Pada platform tersebut, UOB Indonesia memiliki beberapa perusahaan layanan energi bagi pelanggan yang ingin memanfaatkan proyek efisiensi energi.
Perusahaan tersebut akan membantu pelanggan dalam memotong sekurangnya 20 persen konsumsi energi pada bangunan.
Untuk diketahui, perusahaan jasa energi merupakan salah satu kunci penting dalam ekosistem ramah lingkungan karena mampu menyediakan teknologi, konsuktasi proyek, desain berkelanjutan, dan penghematan biaya untuk menjalankan pengelolaan end to end.
Adapun dalam pembiayaan proyek bangunan dan gedung, pemilik konstruksi dapat melakukan pembelian peralatan atau sistem energi dengan green financing dari UOB. Tak hanya itu, UOB juga akan memberikan pinjaman hijau tanpa biaya di muka.
Untuk proyek rumah, pemilik bisa mendapatkan cicilan 0 persen hingga 36 bulan jika melakukan pembayaran proyek efisiensi menggunakan kartu kredit UOB.
Keberadaan U-Energy diharapkan dapat menjadi katalis dalam membantu masyarakat Indonesia untuk menghemat biaya energi dan sekaligus mengurangi emisi karbon.
Adapun U-Energy merupakan bagian dari rangkaian solusi pembiayaan berkelanjutan UOB Indonesia untuk menciptakan kota berkelanjutan
Di bawah kerangka yang sama, UOB Indonesia juga memiliki program U-Solar sebagai platform pembiayaan terintegrasi untuk energi surya dan U-Drive sebagai solusi untuk ekosistem kendaraan listrik.
Artikel ini merupakan bagian keempat dari seri Membangun Kota Berkelanjutan hasil kerja sama KG Media dan UOB Indonesia.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya