Kisah Pijar, Eks Napi Tawuran yang Sukses Rintis Kedai Kopi Sendiri...

Kompas.com - 22/06/2023, 09:20 WIB
Xena Olivia,
Nursita Sari

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Barista Alpijar Ramadhani (20) tidak pernah menyangka bahwa keputusan buruknya pada umur 16 tahun dapat membawanya menjadi pemilik warung kopi (warkop).

Pada 2018, pemuda yang akrab dipanggil Pijar ini dijebloskan ke Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) akibat terlibat tawuran di daerah Kemayoran, Jakarta Pusat.

Nyampe tuh di Salemba. Waktu itu putusnya (harus menjalani hukuman) dua tahun delapan bulan, khusus anak di LPKA,” kata Pijar kepada Kompas.com saat ditemui di warkopnya, “Warkoplu”, Rabu (21/6/2023).

Baca juga: HUT Ke-496 DKI Jakarta, Macet Masih Jadi Kawan Setia

Warkoplu beralamat di Jalan Howitzer Raya Nomor 21 RT 016/RW 03, Kemayoran, Jakarta Pusat.

Pijar bercerita, lima tahun lalu, sebagai remaja dengan emosi menggebu-gebu, ia mencari pengakuan dari orang lain dengan ikut tawuran.

Gara-gara itu, Pijar ditangkap polisi. Ia divonis penjara dan ditahan di LPKA. Setelah itu, ia mendapat pembebasan bersyarat.

Masa pembebasan bersyarat menjadi titik balik bagi Pijar untuk berubah.

Saat menjalani masa pembebasan bersyarat, ia mendapatkan pelatihan barista sebagai klien Balai Pemasyarakatan (Bapas) Kelas I Jakarta Pusat.

“Titik baliknya sudah capek kali, ya. Sudah semuanya dilalui, gitu. Terus kebetulan lagi dapat pelatihan barista di Blok M kan, diajak Bapas,” kata Pijar.

Baca juga: Tidak Ada Kado Istimewa di HUT ke-496 DKI Jakarta

Ia mengikuti pelatihan yang digelar Yayasan Inspirasi Indonesia Membangun (YIIM), kelompok masyarakat peduli pemasyarakatan (Pokmas Lipas) yang telah bekerja sama dengan Bapas Kelas I Jakarta Pusat sejak 2019 untuk membimbing klien.

Pijar mengikuti pelatihan mulai pukul 08.00 hingga 22.00 WIB. Selesai itu, sesekali ia lanjut menongkrong bersama teman-temannya sampai pukul 03.00 atau 04.00 WIB.

“Terus di situ mikir, aduh capek juga kayak gini, ya. Enggak tidur, terus kan lanjut lagi (ikut pelatihan di Blok M). Titik baliknya di situ sih,” tutur anak bungsu dari enam bersaudara itu.

“Kalau dulu kan masih muda kayak gua butuh validasi, nih. Gue keren, gitu. Titik baliknya mungkin (juga) karena aku punya kegiatan. Apa mungkin dulu karena enggak punya kegiatan (makanya ikut tawuran), ya?” ujar dia.

Pernah takut dipandang sebelah mata

Sebagai eks narapidana (napi), Pijar pernah punya ketakutan tidak bisa diterima masyarakat. Namun, ketakutan itu tidak lama pergi. Ia tidak ingin menambah beban untuk dirinya sendiri.

“Awal keluar ada ya kayak gitu (pemikiran takut dihakimi), tapi semenjak punya kopi itu sudah enggak peduli siapa orang, lah. Kayak enggak terlalu berpengaruh,” jelas Pijar.

Halaman:

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of
Baca tentang
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau