KOMPAS.com - Produk pakaian yang masuk ke Eropa sebentar lagi harus memenuhi kewajiban untuk menyertakan 'paspor digital' yang membuktikan kredibilitas ramah lingkungannya.
Dengan adanya paspor tersebut konsumen dapat memindai kode QR atau tag elektronik untuk melihat paspor produk digital (DPP) pakaian dan memeriksa apakah klaim ramah lingkungan merek tersebut benar.
Melansir Eco Business, Jumat (19/12/2025) selanjutnya paspor akan memberi tahu konsumen bahan pembuatan pakaian, berapa banyak energi, air, dan bahan kimia yang digunakan untuk membuatnya, serta siapa yang terlibat dalam setiap tahap produksinya.
Pemasok tekstil dari Bangladesh, eksportir pakaian terbesar kedua di dunia, mungkin perlu menerapkan versi awal paspor tersebut paling cepat pada tahun 2027, menurut analisis oleh Layanan Penelitian Parlemen Eropa.
“Seiring meningkatnya perhatian konsumen terhadap keberlanjutan dan transparansi, paspor produk digital dapat menjadi alat kunci untuk memberikan catatan rinci tentang jejak lingkungan setiap potong kain,” kata Asif Ibrahim, wakil ketua perusahaan manufaktur pakaian yang berbasis di Dhaka, Newage Group of Industries.
Baca juga: Kulit, Cashmere, dan Wol Penyumbang Metana Terbesar Industri Fashion
Laporan LSM Greenpeace yang berbasis di Inggris tahun 2023 mengatakan beberapa merek dan pemasok telah menyesatkan konsumen. Misalnya mereka mengatakan bahan terbuat dari daur ulang. Akan tetapi sebagian serat daur ulang bukan berasal dari sisa tekstil.
“Memberikan data yang autentik dan dapat dilacak dari seluruh rantai pasokan adalah kunci untuk menghentikan masalah greenwashing,” kata Rezwan Ahmed, CEO Aus Bangla Jutex Ltd, sebuah perusahaan yang memproduksi tas, topi, dan celemek dari kapas daur ulang dan organik.
Ibrahim mengatakan produsen kecil masih jauh dari siap untuk memenuhi persyaratan Uni Eropa (UE) yang bertujuan untuk menghentikan produsen yang melebih-lebihkan klaim ramah lingkungan mereka.
Kendati demikian, pemasok dari Bangladesh mulai bekerja sama dengan perusahaan teknologi untuk bersiap menghadapi perubahan ini.
Ahmed telah bermitra dengan Aware, sebuah perusahaan Belanda yang bekerja sama dengan beberapa pemasok fesyen, menggunakan blockchain terdesentralisasi untuk mencatat data yang relevan saat kain menjadi pakaian jadi.
Produsen kemudian memasukkan data penting seperti jumlah benang, konsumsi air, atau warna, kemudian platform Aware menghasilkan kode QR untuk konsumen.
“Para produsen akan memiliki kendali atas apa yang mereka ungkapkan kepada merek dan konsumen mereka - karena kami ingin memberikan kepemilikan data kepada produsen,” kata Md. Muyeed Hasan, manajer negara Bangladesh di Aware.
Baca juga: Riset: Serat Plastik Dongkrak Emisi Industri Fashion 7,5 Persen
Pabrik pengolahan kapas, pencucian, dan pewarnaan, serta produsen pakaian jadi, semuanya akan mengunggah data dan sertifikat yang relevan ke profil digital mereka, kemudian harus menambahkan detail tentang setiap batch produksi secara real-time.
Klaim tentang penggunaan energi dan air akan diverifikasi oleh pihak ketiga
Lebih lanjut, aturan UE ini juga mengharuskan produsen garmen kecil untuk meningkatkan kapasitas perangkat keras dan perangkat lunak mereka serta cara mereka mengelola data.
Untuk mencapai fase tersebut produsen garmen kecil pun dapat bermitra dengan pihak lain untuk meningkatkan kapasitasnya.
Contohnya, DigiProdPass yang berbasis di Inggris telah bermitra dengan asosiasi produsen garmen Bangladesh, BGMEA, untuk membantu produsen kecil memenuhi persyaratan paspor baru.
“Para pemasok akan membutuhkan dukungan dari merek fesyen global dan organisasi pembangunan untuk meningkatkan kapasitas mereka sementara pemerintah harus memberikan insentif kepada para pengadopsi awal,” tambah Ibrahim.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya