KOMPAS.com - Indonesia belum atau tidak menetapkan status bencana nasional terhadap banjir bandang dan tanah langsor di Aceh, Sumatera Utara, serta Sumatera Barat. Padahal, semestinya status bencana nasional dideklarasikan beberapa hari sebelum siklon tropis Senyar datang.
"Kalau saya kepala BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana), saya sudah bilang ke Pak Prabowo (Subianto), kita deklarasi status (bencana) nasional itu dua hari sebelum barangnya (siklon tropis Senyar) tiba, sebelum bencana melapetaka ini datang," ujar pakar kebencanaan Jonatan A. Lassa dalam webinar Selasa (24/12/2025).
Baca juga: Pakar Kritik Sistem Peringatan Dini di Indonesia, Sarankan yang Berbasis Dampak
Deklarasi status bencana nasional memang dapat membuka pintu bagi pihak-pihak internasional untuk menyalurkan bantuan dari negeri asalnya. Ia mengkritik salah kaprah dalam memaknai deklarasi status bencana nasional sebagai bentuk intervensi asing yang bernuansa ekonomi-politik.
Ia menilai, keengganan pemerintah menetapkan deklarasi status bencana nasional lebih ke arah permasalahan tradisi atau budaya politik. Seperti saat gempa dan likuifaksi Palu pada 2018 yang tidak ditetapkan sebagai bencana nasional, menjadi rujukan pengambilan Kebijakan.
Indonesia saat itu tidak menyatakan meminta bantuan dari luar negeri, tetapi seolah mempersilahkan jika pihak-pihak internasional ingin membantu.
Menurut Jonatan, ada tradisi atau budaya politik di berbagai negara, terutama Asia Pasifik, yang menuntut pemerintah bersikap tangguh menghadapi bencana demi memperkuat otoritas dan mengukuhkan kedaulatannya.
Tradisi atau budaya politik tersebut berakar dari 'trauma' kolonialisme di masa lalu, yang mengakibatkannya menafsirkan deklarasi status bencana nasional sebagai pernyataan dengan maksud membuka pintu bagi pihak asing untuk mengintervensi kedaulatannya.
"Itu konsep yang sangat kuno. Jadi, satu-satunya kecurigaan bahwa ini enggak mau dilakukan lebih ke arah politik-ekonomi, hanya itu saja, bahwa deklarasi akan membuka ruang untuk datangnya (banyak) orang, saya enggak yakin dengan argumentasi itu (penolakan status bencana nasional)," tutur Jonatan.
Dalam menghadapi bencana di Sumatera, kata dia, Indonesia dihadapkan dengan kepemimpinan yang lemah. Ironisnya, kepemimpinan menjadi variable yang luar biasa penting dalam penanganan bencana di Indonesia.
Krisis kepemimpinan dalam penanganan bencana di Indonesia bukan hanya di level presiden. Namun, krisis kepemimpinan dalam penanganan bencana di Indonesia juga terjadi di tingkat kementerian/lembaga.
Ia mempertanyakan konsep militer lebih baik daripada sipil dalam operasi kedaruratan (emergency operation), narasi yang diarusutamakan di Indonesia.
"Militer lebih baik dari civil dalam emergency operation terbukti enggak? Hipotesisnya enggak terbukti dalam banyak bencana, karena sistem comand control-nya itu menghambat inovasi, sehingga krisis yang sifatnya flow dan fleksibel, yang harusnya semua (bisa) adaptif, jadi enggak terjadi. Jadi, ahirnya semua menunggu, termasuk gubernurnya," ucapnya.
Kepimpinan sangat menentukan dalam penanganan bencana. Misalnya, residen Amerika Serikat, Barack Obama pada 2012 mendeklarasikan darurat nasional untuk badai super besar (hurricane sandy) berdasarkan potensi bencana.
Meski bencana belum tentu terjadi, berkaca dari kasus Presiden Amerika Serikat (AS), Barack Obama, sebenarnya kepala negara bisa melakukan (feasible) deklarasi nasional dalam upaya mengantisipasi bencana. Dengan demikian, Barack Obama terbebas dari segala konsekuensi hukum jika badai super besar tersebut benar-benar datang.
"Kalau siklonnya enggak tiba atau hurricane enggak tiba, bersyukur dong. Tapi kalau tiba, kita punya decision making (mengambil keutusan) yang bagus, sehingga banya orang terselamatkan, helikopternya sudah siap, bukan tunggu 10 hari (pasca kejadian). Helikopternya sudah tunggu H-1 (sebelum kejadian)," ujar Jonatan.
Barack Obama bisa mengambil keputusan tersebut karena AS memiliki sistem peringatan dini berbasis dampak. Pembangunan sistem peringatan dini berbasis dampak di Indonesia mempunyai konsekuensi politik yang besar.
Kini, sistem peringatan dini Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) masih bersifat forecast atau perkiraan untuk memprediksi kemungkinan terjadinya bencana.
Sistem peringatan dini tersebut tidak mampu membantu pencegahan dampak bencana akibat siklon. Sistem peringatan dini berbasis dampak bukan hanya sekadar memberi informasi, melainkan pula memperkirakan risiko potensial dari siklon.
Baca juga: Distribusi Cadangan Beras untuk Banjir Sumatera Belum Optimal, Baru 10.000 Ton Tersalurkan
"World Meteorological Organization (WMO) dan lembaga-lembaga di Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) maupun para saintis yang semua ini sudah cukup lama berbicara impact-based early warning system. Jadi, enggak cukup ya, mengatakan kapan early warning ini terjadi, tetapi kapan, di mana, siapa yang terkena dampak, dan apa artinya buat decision making (pengambilan keputusan," tutur Jonatan.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya