KOMPAS.com - Penanganan masalah kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Indonesia yang dilakukan berbagai pihak menunjukkan hasil positif dalam tiga tahun belakangan.
Berdasarkan data SiPongi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), jumlah karhutla di Indonesia mencapai 296.942 hektare (ha) pada 2020. Jumlah ini turun drastis dari tahun sebelumnya, yakni 2019, yang mencapai 1,6 juta ha.
Pada 2021, angka karhutla pun terpantau masih berada di bawah angka kebakaran pada 2019, yakni 358.867 ha. Sementara, hingga akhir 2022, jumlah karhutla tercatat mencapai 202.617 ha.
Hal itu menjadi kabar baik yang patut diapresiasi. Sebab, selain mampu mengurangi risiko bencana, penurunan angka karhutla juga berkontribusi terhadap penurunan emisi karbon, khususnya karbon dioksida (CO2) yang menjadi salah satu penyebab pemanasan global.
Meski begitu, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengingatkan semua pihak untuk tetap waspada dan tidak lengah terhadap potensi karhutla pada 2023.
Pasalnya, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memprediksi, musim kemarau yang menjadi salah satu penyebab utama karhutla akan tiba lebih awal dengan curah hujan normal hingga kering.
Baca juga: Kunjungan ke APRIL Group, Kadin Ajak Swasta Contoh Pembangunan Panel Surya
"BMKG memprediksi akan terjadi El Nino setelah tiga tahun belakangan terjadi La Nina. El Nino pada 2023 berpotensi meningkatkan angka karhutla seperti yang terjadi pada 2019," ujar Mahfud MD seperti dilansir laman menlhk.go.id.
Untuk memitigasi potensi karhutla pada 2023, Menteri LHK Siti Nurbaya menjelaskan bahwa pemerintah telah mengadakan Rapat Koordinasi Khusus (Rakorsus) Pengendalian Karhutla 2023. Menurutnya, sinergi antarlembaga dan kementerian penting dilakukan untuk mengantisipasi ancaman tersebut.
Apalagi, menurut laporan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) pada 2020, sebanyak 99 persen karhutla di Indonesia disebabkan oleh ulah manusia.
Maka dari itu, pemahaman tentang karhutla pada masyarakat perlu ditingkatkan agar upaya mitigasi dapat dilakukan secara optimal.
Selain itu, edukasi juga diperlukan agar semua pihak dapat bergerak secara kolektif dan memiliki kepedulian serta pengetahuan mengenai penanganan karhutla.
Sinergi pencegahan karhutla yang dilakukan oleh para pemangku kepentingan menjadi kewajiban yang harus dijaga keberadaannya.
Selain membantu mengurangi risiko kebakaran secara luas, upaya tersebut juga diperlukan untuk membantu mengurangi dampak perubahan iklim yang diakibatkan oleh emisi gas rumah kaca (GRK).
Hal tersebut juga turut berpengaruh besar pada target pengurangan net zero emission (NZE) yang telah dicanangkan oleh pemerintah.
Seperti diketahui, Indonesia berikrar untuk mencapai NZE pada 2060 atau lebih cepat sebagai aksi nyata dalam merespons perubahan iklim.
Baca juga: APRIL Group Paparkan Upaya untuk Wujudkan Net Sink pada 2030 di Gelaran COP 27
Dalam upaya mencapai target tersebut, pemerintah juga mendapatkan bantuan yang dilakukan secara kolektif oleh sejumlah pihak swasta. Salah satunya lewat berbagai perusahaan yang tergabung ke dalam forum Aliansi Bebas Api atau Fire Free Alliance (FFA).
FFA merupakan sarana berbagi informasi antarperusahaan tentang praktik penanggulangan karhutla terbaik lewat intervensi serta teknik efektif yang tepercaya dan terbuka.
FFA sendiri beranggotakan sederet pemangku kepentingan, seperti perusahaan kehutanan dan pertanian, lembaga swadaya masyarakat (LSM), serta mitra strategis yang berfokus pada penanganan karhutla dan kabut asap.
Anggotanya terdiri dari APRIL Group, Asian Agri, IOI, Musim Mas, Sime Darby, Wilmar International Limited, IDH, dan PM Haze.
Dalam mendukung program pemerintah terkait penanggulangan karhutla, berbagai inisiasi telah digagas oleh anggota-anggota FFA. Salah satunya, bekerja sama dengan desa-desa di sekitar wilayah operasional perusahaan untuk menanggulangi karhutla dengan berbagai pendekatan.
APRIL Group, misalnya, secara aktif kerap melibatkan masyarakat setempat dalam Program Desa Bebas Api (FFVP).
Lewat program FFVP, APRIL berupaya untuk membekali masyarakat dengan perlengkapan dan informasi untuk meningkatkan pemahaman mereka mengenai cara penanggulangan kebakaran.
Berdasarkan data terbaru perusahaan, APRIL Group kini telah bermitra dengan 39 desa atau kelurahan di lima kabupaten di Provinsi Riau. Total cakupan wilayah yang telah berpartisipasi pun mencapai 803.684 ha.
Produsen serat, pulp, dan kertas yang berlokasi di Provinsi Riau itu juga memberikan akses alternatif pembukaan lahan tanpa bakar dengan sistem pertanian berkelanjutan.
Terbaru, APRIL juga mendukung kegiatan konservasi dan pelestarian lingkungan berbasis masyarakat melalui program konservasi bersama masyarakat.
Tak hanya itu, APRIL juga menyiagakan 2.275 fire fighter atau pemadam kebakaran terlatih yang tergabung dalam Fire Emergency Response Team (FERT) PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) untuk menanggulangi kebakaran.
FERT RAPP sendiri terdiri dari 1.156 personel inti, 640 anggota cadangan, dan 480 anggota MPA.
Untuk memudahkan pemantauan hotspot, FERT RAPP juga telah memasang 37 menara pengawas yang dilengkapi dengan closed-circuit television (CCTV) di beberapa titik di sekitar area konsesi perusahaan dan sekitar.
Selain itu, APRIL juga telah berinvestasi dengan menyiapkan sejumlah teknologi deteksi canggih untuk membantu pemadaman kebakaran.
Baca juga: Bersama APRIL Group, Krealogi Tingkatkan Kapasitas UMKM di Riau
Teknologi tersebut adalah Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer (Modis) yang diluncurkan oleh National Aeronautics and Space Administration (NASA) dan teknologi pemantauan National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA).
Adapun teknologi pemantauan titik panas berbasis satelit tersebut hadir untuk melengkapi kemampuan menara pemantauan kebakaran APRIL dan menara kamera pengawas yang terletak di sekitar area perhutanan yang dikelola perusahaan.
Demi mengoptimalkan tindakan pencegahan, APRIL juga berkomitmen dalam merespons kebakaran di kawasan masyarakat dalam radius 3 km dari batas perusahaan. Dalam upaya ini, APRIL berkoordinasi dengan pemerintah daerah setempat.
APRIL juga rutin menyosialisasikan periode rawan kebakaran hutan dan lahan kepada seluruh unit bisnis dan mitra pemasoknya sebagai langkah antisipasi terpadu.
Seluruh upaya terpadu berkelanjutan itu sejalan dengan komitmen APRIL terhadap kebijakan “No Burn Policy” sejak 1993 dan persyaratan Pemerintah Indonesia untuk mengatasi risiko yang ditimbulkan oleh kebakaran.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya