Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 15/06/2022, 19:55 WIB
Sakina Rakhma Diah Setiawan

Editor

JAKARTA, KOMPAS.com - Berdasarkan laporan Barilla Center Food And Nutritions, Indonesia menduduki urutan delapan di antara negara-negara G20 yang menghasilkan sampah terbanyak. Orang Indonesia tercatat menghasilkan sampah sisa makanan sebanyak 121 kg per orang per tahun.

Sampah makanan dari Indonesia didominasi oleh sampah rumah tangga sebesar 77 kg per orang dalam setahun.

Persoalan sampah semakin kompleks seiring dengan pertambahan penduduk. Hal tersebut membutuhkan inovasi baru serta cara yang kreatif untuk mengatasi permasalahan yang tergolong serius ini.

Baca juga: Jangan Dibuang, Ini Cara Mengolah Sampah Skincare

Ilustrasi tempat sampah. SHUTTERSTOCK/JOSEP CURTO Ilustrasi tempat sampah.

Korindo Group bekerja sama dengan Forest For Life Indonesia (FFLI) dalam membangun tempat pengolahan sampah organik dengan menggunakan teknik Bio-Conversion BSF (Black Soldier Fly/ Lalat Tentara Hitam) yang berlokasi di Rest Area Cibubur Square, Jakarta.

Untuk mendukung penuh inkubasi proyek Pengolahan Sampah Organik Bio-Conversion ini Korindo memberikan bantuan hibah dana kepada FFLI untuk melaksanakan proyek pengolahan sampah tersebut.

“Semua keperluan program sudah disiapkan, baik dari segi lokasi hingga ketersediaan limbah organik yang akan diolah dan diurai. Nantinya lokasi tersebut akan menjadi rest area pertama di dunia yang memiliki Bio-Conversion organik,” kata Sekjen Yayasan Korindo Seo Jeongsik dalam keterangannya, Rabu (15/6/2022).

Melalui konsep circular-economy atau berpedoman pada prinsip mengurangi sampah dan memaksimalkan sumber daya yang ada, Bio-Conversion Organic menggunakan Lalat Tentara Hitam yang berpotensi membuat prospek ekonomi baru, dengan mengubah sampah organik menjadi pupuk dan protein.

Baca juga: #PakeSampaiHabis, Solusi Nyata Kurangi Sampah Produk Skincare di Rumah

“Kami berkomitmen dengan hibah yang diperoleh dari Korindo ini dapat lebih membantu kita dalam memajukan masyarakat. Selain itu, hal ini juga akan meyakinkan mereka bahwa Bio-Conversion Organic merupakan cara paling murah yang bisa dilakukan untuk mengatasi masalah sampah,” terang Hadi Pasaribu, Ketua FFLI.

Ilustrasi lalat. PIXABAY/WERBEGURU Ilustrasi lalat.

Proyek Bio-Conversion Organic dengan menggunakan Lalat Tentara Hitam yang berlokasi di Rest Area Cibubur Square merupakan proyek kedua yang dijalankan Yayasan Korindo bersama dengan FFLI.

Sebelumnya pada tahun 2018, Korindo Group dan FFLI juga telah membangun pengelolaan sampah organik serupa di Lombok, Nusa Tenggara Barat.

Bio-Conversion Organic dengan menggunakan Lalat Tentara Hitam relatif aman bagi lingkungan. Dari sekitar 800 jenis yang ada di bumi, Lalat Tentara Hitam merupakan jenis yang paling berbeda, karena tidak bersifat patogen atau membawa agen penyakit.

Baca juga: Banyak Sampah Produk Skincare di Rumah? Ini Solusi Menguranginya

Siklus hidup lalat jenis ini total hanya 40-45 hari, mulai dari telur sampai ke lalat dewasa. Seekor lalat betina biasanya menghasilkan 500-900 butir telur. Sebanyak 1 gram telur akan mampu menghasilkan 3-4 kg maggot atau larva.

Pada fase inilah larva mengurai sampah-sampah organik. Setelah larva optimal mengurai sampah organik, larva-larva itu bisa dimanfaatkan untuk pakan ternak, seperti ikan atau ayam.

Larva Lalat Tentara Hitam kaya akan asam amino dan protein sebesar 40 persen.

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of
Baca tentang
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com