KUPANG, KOMPAS.com - Perubahan fungsi Cagar Alam Mutis Timau di Nusa Tenggara Timur (NTT), menjadi Taman Nasional bukan penurunan status kawasan hutan.
Kepala Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Nusa Tenggara Timur (NTT) Arief Mahmud menegaskan hal ini kepada Kompas.com, Selasa (1/10/2024).
Menurutnya, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) lebih fokus pada upaya pelestarian Taman Nasional Mutis Timau yang terdiri dari wilayah eks Cagar Alam dan Hutan Lindung.
Hal ini perlu dilakukan untuk pengelolaan yang lebih profesional, dan terintegrasi sebagai sebuah kesatuan bentang alam melalui sistem zonasi.
"Sangat penting untuk mempertahankan kondisi habitat, biofisik serta lanskap kawasan Cagar Alam dengan tambahan ruang yang lebih luas dari eks kawasan hutan lindung," ujar Arief.
Baca juga: Daftar Suaka Margasatwa dan Cagar Alam di DKI Jakarta
Arief menjelaskan, pada tanggal 8 September 2024 telah dideklarasikan pembentukan Taman Nasional Mutis Timau yang merupakan taman nasional ke-56 di Indonesia.
Pasca deklarasi muncul beberapa pernyataan publik dan komunitas budaya yang menyesalkan dilakukannya perubahan fungsi kawasan cagar alam sebagai sebuah penurunan status.
Pernyataan itu intinya menyebutkan tidak dilakukannya dialog dengan tokoh adat, tidak ada naskah akademik, dan kekhawatiran rusaknya hutan yang penting dalam tata air dan nilai budaya.
Tak hanya itu, muncul juga kecurigaan akan dibangunnya sarana wisata yang masif, maupun kemungkinan eksploitasi bahan galian berupa logam berharga.
Terhadap pemberitaan yang berpotensi menimbulkan kesalahpahaman serta kekeliruan mengambil sikap, KLHK pun menyampaikan beberapa penjelasan untuk meluruskan semua informasi itu.
Pertama, dalam terminologi perubahan fungsi kawasan hutan, perubahan fungsi dari Hutan Lindung dan Cagar Alam menjadi Taman Nasional, tidak dikenal istilah penurunan fungsi.
Hal yang dilakukan dengan perubahan fungsi tersebut merupakan sebuah upaya yang dilakukan untuk mengakomodasi kebutuhan dan kegiatan eksisting yang dilakukan oleh masyarakat setempat.
Dengan fungsi sebagai Cagar Alam maka aktivitas pemanfaatan yang dapat dilakukan hanya untuk kepentingan penelitian dan pengembangan, ilmu pengetahuan, pendidikan, dan kegiatan lainnya yang menunjang budidaya.
Sedangkan aktivitas eksisting yang telah dilakukan oleh masyarakat setempat antara lain mengambil madu hutan, mengambil kayu bakar, mengambil lumut dan jamur, pemanfaatan air, dan menggembalakan ternak.
Kemudian melakukan acara ritual agama/budaya/religi serta wisata alam, dengan fungsinya sebagai Cagar Alam maka semua aktifitas tersebut tidak dimungkinkan.
"Upaya perubahan fungsi menjadi taman nasional akan mengakomodasi semua kepentingan tersebut," imbuh Arief.
Pada saatnya setelah pengaturan zonasi pengelolaan, akan dilakukan alokasi kawasan untuk kepentingan perlindungan sistem penyangga kehidupan serta pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya pada zona inti dan zona rimba.
Pada sisi lain, aktivitas masyarakat selama ini akan diakomodasi dan dimungkinkan secara legal melalui alokasi zona tradisional, zona religi dan zona pemanfaatan.
Tidak semua bagian kawasan akan dijadikan sebagai zona pemanfaatan untuk kepentingan wisata.
Dalam proses pengaturan zonasi akan dilakukan upaya konsultatif dengan semua unsur masyarakat termasuk masyarakat adat dan pemerintah melalui konsultasi publik.
Kedua, proses perubahan fungsi Hutan Lindung Mutis Timau dan Cagar Alam Mutis Timau ditempuh sesuai prosedur yang diatur dalam Peraturan Menteri (Permen) LHK Nomor 7 Tahun 2021 tentang Perencanaan Kehutanan, Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan dan Perubahan Fungsi Kawasan Hutan.
Proses tersebut meliputi, usulan atau proposal, penelaahan dokumen usulan pada Ditjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan, pembentukan tim terpadu, studi atau penelitian lapangan oleh tim terpadu, penyampaian laporan dan rekomendasi oleh tim kepada Menteri LHK, proses penelaahan laporan serta penerbitan Keputusan Menteri LHK.
Tim terpadu memiliki pilihan untuk tidak merekomendasikan perubahan fungsi, merekomendasikan sebagian ataupun merekomendasikan seluruhnya.
Ketiga, proses dialog perubahan menjadi Taman Nasional sudah dilakukan jauh pada saat dilakukan kegiatan evaluasi kesesuaian fungsi Cagar Alam sebelum dilakukannya proses usulan perubahan fungsi.
Selanjutnya dalam proses penelitian lapangan oleh tim terpadu dalam proses usulan perubahan fungsi, telah dilakukan dialog melalui diskusi terpimpin bersama komunitas masyarakat yang dilakukan di Desa Fatumnasi Kecamatan Fatumnasi l, Desa Mutis, Kecamatan Fatumnasi, Desa Netemnanu Kecamatan Amfoang Timur, Kelurahan Lelogama Kecamatan Amfoang Selatan, Desa Tasinifu Kecamatan Mutis dan Desa Bonleu Kecamatan Tobu.
Arief menekankan, pemerintah menghormati pendapat setiap warga masyarakat. Komunikasi dengan tokoh adat setempat baik pemangku adat Kerajaan Amfoang, Kerajaan Molo dan Kerajaan Miomafo saat ini terus dijalankan.
Demikian juga dengan sosialisasi kepada masyarakat luas terus dilakukan agar masyarakat memahami bahwa perubahan fungsi ini dilakukan untuk pengelolaan hutan konservasi yang lebih baik dan memberikan dampak positif kepada masyarakat.
Keempat, terkait kekhawatiran akan rusaknya hutan akibat aktifitas pembangunan untuk investasi perlu dipahami bahwa dalam pengelolaan Taman Nasional dilakukan pembagian ruang yang dilakukan sesuai kriteria kondisi biofisik, keberadaan satwa dan tumbuhan liar, kondisi landscape, keberadaan situs budaya/ sejarah serta aspek lainnya.
Pengaturan zonasi meliputi, zona inti, zona rimba, zona pemanfaatan, zona tradisional, zona rehabilitasi, zona religi, budaya dan sejarah serta zona khusus.
Selanjutnya pada zona pemanfaatan akan dilakukan pengaturan menjadi ruang usaha dan ruang publik.
Proses pembangunan sarana wisata pada kawasan Taman Nasional sesuai ketentuan peraturan perundangan memang dimungkinkan, namun hal tersebut hanya dapat dilakukan di ruang usaha pada Zona Pemanfaatan.
Dengan pengaturan ruang ini maka aktifitas investasi tidak akan terjadi pada wilayah selain ruang usaha pada zona pemanfaatan.
Pengaturan zona ini juga akan membatasi akses pada kawasan taman nasional, masyarakat hanya dapat melakukan aktifitas pada kawasan Taman Nasional yang sesuai dengan peruntukan zona, tidak diperkenankan melakukan aktifitas wisata pada zona Inti.
"Kementerian LHK sampai dengan saat ini tidak pernah merencanakan pembangunan atau investasi wisata alam dalam bentuk yang masif di Taman Nasional Mutis Timau," tambah Arief.
Selain itu, dimungkinkan pula pembangunan sarana lain pada zona khusus misalnya, pembangunan jalan, jaringan listrik dan komunikasi, pertahanan keamanan serta kegiatan lain sepanjang untuk kepentingan yang bersifat strategis dan tidak dapat dielakkan serta untuk penanggulangan bencana dan pemenuhan hajat hidup masyarakat.
Sebagaimana pemenuhan air bagi masyarakat di Kabupaten Timor Tengah Selatan dan Timor Tengah Utara serta pemenuhan kebutuhan jalan dan sarana listrik masyarakat di Desa Nenas, Desa Nuapin dan Desa Mutis yang terisolir karena berada di tengah Taman Nasional.
Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) DR Kayat menjelaskan, tim terpadu yang dibentuk Kementerian LHK meliputi unsur Peneliti pada Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Perguruan Tinggi Negeri, Direktorat Jenderal PKTL, Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem, Sekretariat Jenderal Kementerian LHK, Dinas Provinsi yang membidangi Kehutanan dan Lingkungan Hidup, balai atau institusi pengelola kawasan hutan konservasi yang diusulkan dan instansi lain yang terkait.
Wakil dari lembaga atau instansi pemerintah yang ditunjuk dalam tim terpadu harus memenuhi syarat pengalaman dan memiliki latar belakang bidang ilmu dan kompetensi yang diperlukan dalam pelaksanaan penelitian terpadu meliputi bidang biofisik, sosial, ekonomi, budaya, hukum dan kelembagaan.
"Tim terpadu bekerja dengan metode ilmiah sehingga menghasilkan naskah hasil penelitian yang dapat dipertanggungjawabkan," ujar Kayat.
Hasil penelitian tim terpadu adalah usulan perubahan fungsi dari kawasan Cagar Alam Mutis Timau yang terletak di Kabupaten Timor Tengah Selatan dan Kabupaten Timor Tengah Utara, Provinsi Nusa Tenggara Timur seluas sekitar 12.315,61 hektar.
Selanjutnya usulan perubahan fungsi dari Kawasan Hutan Lindung Mutis Timau yang terletak di Kabupaten Kupang, Kabupaten Timor Tengah Selatan dan Kabupaten Timor Tengah Utara, Provinsi Nusa Tenggara Timur direkomendasikan sebagian seluas sekitar 66.473,83 hektar direkomendasikan untuk diubah fungsi menjadi Taman Nasional.
Jadi, tidak seluruh luasan Kawasan Hutan Lindung yang diusulkan menjadi Taman Nasional yakni seluas 102.125 hektar disetujui oleh tim terpadu.
"Hal ini dilakukan mengingat pada lokasi tersebut ditemukan terdapat program perhutanan sosial, persetujuan penggunaan kawasan hutan dan indikasi penyelesaian penguasaan tanah dalam rangka penataan kawasan hutan," kata dia.
Raja Amfoang Robby Manoh mengatakan, pihaknya mendukung pembentukan Taman Nasional.
Dukungan itu, mengingat terdapat kesamaan ketentuan pengelolaan taman nasional dengan ketentuan adat, yang diatur larangan untuk melakukan pemanfaatan secara berlebihan dalam pemanfaatan hasil alam berupa madu, satwa liar dan lain-lain.
Ada pun Raja Miomafo Willem Kono mengaku sangat memahami latar belakang dan tujuan perubahan fungsi Cagar Alam dan Hutan Lindung menjadi Taman Nasional.
Namun, Willem memberi catatan agar sedapat mungkin menghindari investor asing yang masuk dalam pengelolaan Taman Nasional.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya