Karhutla 2019, Dampak Buruk dan Antisipasi di Masa Depan

Kompas.com - 24/06/2020, 18:04 WIB
Farhanah,
Agung Dwi E

Tim Redaksi

KOMPAS.com – Memasuki musim kemarau 2020, Indonesia belum lepas dari ancaman kebakaran hutan dan lahan (karhutla).

Sepanjang tahun lalu, rendahnya curah hujan dan panjangnya musim kemarau menjadi salah satu penyebab karhutla di Indonesia. Total luas lahan yang terbakar pada 2019 mencapai 857.759 hektare.

Kekeringan juga dialami oleh negara tetangga yaitu Australia. Badan Meteorologi Australia melaporkan 2019 sebagai tahun terkering dan terpanas. Seperti Indonesia, pada tahun tersebut Australia mengalami kebakaran hutan dan lahan, tetapi dampaknya tercatat lebih parah.

Di Negeri Kangguru itu, lebih dari 18 juta hektare lahan terbakar, sekitar 2.500 rumah warga musnah, dan satu miliar hewan diperkirakan terbunuh. Meski begitu, kebakaran hutan di Australia dan Indonesia punya penyebab berbeda.

Baca juga: Musim Kemarau, BNPB Minta Pemerintah Daerah Siap Siaga Karhutla

Faktor alam seperti petir yang menyambar membuat pohon-pohon kering terbakar menjadi penyebab karhutla di Australia. Sementara di Indonesia, faktor alam bukan menjadi penyebab utama.

Indonesia memiliki hutan tropis dengan curah hujan dan kelembapan tinggi yang melebihi 2.500 mm per tahun dan puncak musim kemarau tak lebih dari tiga bulan. Artinya, frekuensi intensitas kebakaran hutan akibat faktor alam sebenarnya bisa dibatasi.

Karakteristik hutan Indonesia ini justru mirip dengan hutan tropis Amazon di Brasil. Naasnya, nasib hutan di Indonesia dan Amazon hampir sama, yaitu mengalami kebakaran hebat akibat perbuatan manusia yang kurang bertanggung jawab.

Brasil kehilangan 900.000 hektare wilayah hutan Amazon pada 2019. Peristiwa ini ditengarai disebabkan oleh pembukaan lahan pertanian dengan cara dibakar.

Baca juga: Prediksi Puncak Kemarau pada Agustus, BMKG Ingatkan Bahaya Karhutla di Daerah Ini

Begitu pun karhutla di Indonesia. Dikutip dari Kompas.com, Kamis (19/11/2019), Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Doni Monardo mengemukakan, 99 persen karhutla di Indonesia terjadi karena ulah manusia, baik sengaja maupun tidak sengaja.

Dampak buruk karhutla

Pembukaan lahan dengan cara membakar memang menjadi cara mudah dan murah bagi sebagian oknum untuk memulai lahan pertanian.

Tak dapat dimungkiri, jalan pintas tersebut banyak diambil karena minimnya peralatan dan teknologi pembukaan lahan yang aman, serta kurangnya pemahaman mengenai dampak bagi lingkungan.

Naasnya, bahaya kebakaran makin meningkat bersamaan kemarau panjang. Pepohonan kering mudah tersulut api yang sulit dikendalikan sehingga menjalar ke perkebunan dan pemukiman warga.

Baca juga: Jelang Puncak Kemarau, Kemenkes Ingatkan Karhutla Bisa Perburuk Pasien Covid-19

Dampak lain yang menyertai karhutla adalah penyebaran kabut asap yang dapat mengancam kesehatan masyarakat. Berbagai penyakit bisa muncul, mulai dari sakit tenggorokan, pilek, mata merah, asma, bronkitis, radang paru-paru (pneumonia), hingga penyakit kardiovaskular.

Dalam kondisi terparah, paparan kabut asap bisa mengganggu tumbuh kembang anak-anak dan kematian akibat dari serangan jantung dan stroke pada orang dewasa.

Hal yang tak kalah penting, praktik pembakaran hutan akan berdampak pada perubahan iklim dan peningkatan suhu lokal.

Itu terjadi karena hutan yang gundul akan terpapar sinar matahari langsung dan pergerakan udara semakin tinggi sehingga kelembapan udara akan turun. Efeknya, vegetasi hutan akan lebih cepat kering dan mudah terbakar.

Baca juga: Doni Monardo: Hindari Asap Karhutla agar Selamat dari Bahaya Covid-19

Kerja sama multistakeholder dalam menangani karhutla

Sustainability Operations Manager APRIL Group Craig R Tribolet tengah mengamati peta potensi titik api.APRIL Group Sustainability Operations Manager APRIL Group Craig R Tribolet tengah mengamati peta potensi titik api.

Mengurai masalah karhutla dan dampaknya tak akan selesai jika hanya mencari pihak mana yang salah. Jalan keluar terbaik dalam menanggulangi persoalan menahun ini adalah mencari solusi komprehensif dengan melibatkan kerja sama multistakeholder.

Sustainability Operations Manager Grup APRIL Craig R. Tribolet berpendapat, berbagai upaya dapat dilakukan oleh individu, perusahaan, dan pemerintah untuk memahami serta mengatasi inti permasalahan. Hal itu termasuk kebutuhan memperbaiki manajemen penanggulangan kebakaran di seluruh rantai pasokan organisasi.

Menurut Craig, pencegahan kebakaran merupakan salah satu unsur dalam strategi pengelolaan kebakaran secara menyeluruh dan dapat menciptakan intervensi yang sangat efektif.

Dia mencontohkan Program Desa Bebas Api atau Fire Free Village Program (FFVP) yang diinisiasi Grup APRIL sejak 2014. Program ini sukses mendorong kerja sama antara masyarakat dan perusahaan dalam mencegah kebakaran dengan cara yang berkelanjutan.

Baca juga: Musim Kemarau, BNPB Minta Pemerintah Daerah Siap Siaga Karhutla

“Dengan adanya program ini, desa-desa yang berpartisipasi dalam program FFVP sukses mengurangi area yang terbakar hingga lebih dari 90 persen pada 2015 lalu, yang merupakan salah satu musim kebakaran terburuk dalam sejarah Indonesia,” jelas Craig.

Selain itu, Craig menilai perlunya kerangka kerja kelembagaan yang tepat untuk membantu perusahaan dan masyarakat mengatasi isu karhutla dan dampaknya.

Klaster Pencegahan dan Penanggulangan Kebakaran Hutan dan Lahan Kabupaten Pelalawan adalah salah satu contoh nyata pemangku kepentingan dapat berkumpul bersama dalam membahas, merencanakan, dan menggalang tanggapan di tingkat daerah.

Adapun Craig yang juga merupakan Chairman of Fire Free Alliance (FFA) mengatakan, forum FFA menjadi salah satu contoh kerja sama multistakeholder yang aktif dalam mencegah dan menanggulangi karhutla serta dampaknya.

Baca juga: Menteri LHK Sebut Indonesia Masuki Fase Kritis Karhutla

Aliansi itu terdiri dari perusahaan kehutanan dan pertanian, lembaga swadaya masyarakat, serta mitra lainnya yang berkontribusi menciptakan solusi berkelanjutan untuk masalah karhutla dan kabut asap.

Forum tersebut memungkinkan pihak yang berpartisipasi saling berbagi informasi tentang praktik penanggulangan karhutla terbaik. Tentunya melalui intervensi dan teknik efektif dengan cara yang tepercaya dan terbuka.

Menurut Craig, seluruh upaya ini tidak akan berjalan baik apabila tidak ada dukungan dari pemerintah yang telah melakukan banyak terobosan dalam penanggulangan karhutla dan dampaknya.

Peningkatan kesadaran masyarakat dan penegakan peraturan pemerintah tentang penanggulangan karhutla memainkan peran kunci dalam meningkatkan persoalan kebakaran sebagai masalah sosial dan lingkungan kritis.

Baca juga: Menteri LHK: Pencegahan Karhutla Butuh Peran Bersama

“Selain itu, diperlukan lebih banyak penelitian ilmiah mengenai ilmu pemadam kebakaran serta dialog terbuka di antara semua pemangku kepentingan untuk menyelesaikan masalah bersama ini,” tutup Craig.

Pemerintah gerak cepat antisipasi karhutla 2020

Sejalan dengan itu, pemerintah berupaya mencegah dampak buruk karhutla pada 2019 terulang kembali.

Dilansir dari Kompas.com, Rabu (24/6/2020), Presiden RI Joko Widodo menegaskan, upaya pencegahan karhutla harus terus dilakukan meski pemerintah tengah fokus menghadapi pandemi Covid-19.

Presiden juga menekankan pentingnya manajemen lapangan yang terkonsolidasi dan terkoordinasi dengan baik dalam pencegahan dan penanganan karhutla 2020.

“Manfaatkan teknologi untuk peningkatan monitoring sekaligus pengawasan dengan sistem dashboard,” kata Presiden Jokowi.

Baca juga: Empat Arahan Presiden untuk Antisipasi Karhutla

Sesuai arahan Presiden, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pun tengah melakukan berbagai upaya pencegahan dalam menyambut musim kemarau pada Juni hingga Agustus 2020.

KLHK langsung bergerak merekayasa jumlah hari hujan untuk pembasahan gambut melalui teknologi modifikasi cuaca (TMC) di provinsi rawan karhutla.

TMC berguna untuk membasahi lahan gambut serta mengisi embung dan kanal dengan memanfaatkan potensi awan hujan. TMC periode pertama telah dilaksanakan sejak 11 Maret hingga 2 April 2020 di Riau sebanyak 27 sorti atau penerbangan yang menghasilkan 97.8 juta meter kubik air hujan.

Untuk periode kedua, masih dilaksanakan di Riau dari 13 hingga 31 Mei 2020 sebanyak 16 sorti menggunakan pesawat Cassa 212 C TNI AU dengan menghasilkan sekitar 44,1 juta meter kubik air hujan.

Baca juga: Antipasi Karhutla, BPPT Siap Turunkan Hujan Buatan di Riau dan Jambi

Untuk wilayah Sumatera Selatan dan Jambi, telah dilakukan 11 sorti penerbangan sejak 2 hingga 13 Juni 2020 dengan menghasilkan volume air hujan mencapai 23,71 juta meter kubik.

“Alhamdulillah, (dengan) upaya pencegahan melalui teknologi berbasis science, daerah rawan, seperti Provinsi Riau, Sumsel, dan Jambi, dapat melewati fase kritis I karhutla tahun ini,” ujar Menteri LHK Siti Nurbaya Bakar secara tertulis, Senin (15/6/2020).

Upaya itu pun berbuah manis dengan adanya penurunan jumlah hotspot atau titik api dalam rentang waktu sama, yakni 1 Januari hingga 9 Juni 2020. Dari 1.381 hotspot pada 2019, menjadi 837 hotspot pada 2020.

Sejatinya pencegahan dan penanggulangan karhutla tersebut merupakan tanggung bersama antara pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat karena karhutla tidak mengenal batas wilayah.

Baca juga: Mahfud MD: Karhutla Bisa Diminimalisasi, Protes Aktivis Sudah Tak Begitu Gencar

Oleh karena itu, kerja sama berbagai pihak sangat dibutuhkan demi perbaikan kualitas udara serta menjaga keberlangsungan alam Indonesia.

 

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau