Kompas.com - 02/11/2021, 20:48 WIB
Aningtias Jatmika,
Sri Noviyanti

Tim Redaksi

KOMPAS.com – Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) kembali menggelar Konferensi Perubahan Iklim atau Climate Change Conference of the Parties ke-26 (COP26) di Glasgow, Skotlandia pada Senin (1/11/2021) hingga Jumat (12/11/2021).

Dalam konferensi tersebut, para pemimpin negara, ilmuwan, serta petinggi bisnis mencari solusi untuk mengimplementasikan target pengurangan emisi. Salah satunya terkait pendanaan untuk program pencegahan iklim. Hal ini dilakukan demi mengatasi masalah perubahan iklim yang mengkhawatirkan.

Organisasi PBB yang bergerak di bidang lingkungan hidup atau United Nations Environment Programme (UNEP) memperkirakan, setidaknya dibutuhkan dana 100 miliar dollar Amerika Serikat (AS) untuk menangani masalah perubahan iklim secara global.

Berkaitan dengan hal itu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menilai bahwa sebagai negara berkembang yang memiliki potensi alam, Indonesia dapat berkontribusi besar dalam penanganan masalah perubahan iklim.

“Indonesia dapat berkontribusi lebih cepat dalam mewujudkan net-zero emission dunia. Pertanyaannya, ‘seberapa besar kontribusi negara maju untuk kami (Indonesia)’, ‘transfer teknologi apa yang bisa diberikan’, ‘program apa yang didukung untuk pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG’s) yang terhambat akibat pandemi,’” kata Jokowi dalam keterangan tertulis yang diterima Kompas.com, Selasa (2/11/2021).

(Baca juga: Sinergi Swasta dan Pemerintah dalam Memastikan Pencapaian SDGs di Tengah Pandemi)

Berangkat dari pertanyaan tersebut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) kemudian menggelar diskusi panel bertajuk “Becoming the World’s Leader in Green Economy: Leading in NDC Implementation”.

Rangkaian acara COP26 yang digelar di Paviliun Indonesia di Glasgow tersebut membahas peran sektor bisnis dalam ekonomi yang hijau dan berkelanjutan.

Sesi diskusi yang dipimpin oleh Wakil Menteri KLHK Alue Dohong itu turut dihadiri oleh sejumlah pemimpin bisnis dari berbagai perusahaan, seperti Pertamina, Royal Garden Eagle (RGE), serta Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin).

Dalam pemaparannya, Alue mengatakan, pemerintah telah mencanangkan target "Indonesia FoLU Net Sink 2030" guna mencapai komitmen kontribusi penurunan emisi yang ditetapkan secara nasional atau Nationally Determined Contribution (NDC) pada 2030.

Dalam NDC, Indonesia berkomitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 29 persen secara mandiri atau 41 persen dengan bantuan internasional pada 2030.

Alue meyakini, sektor kehutanan dan penggunaan lahan lain atau forestry and other land use (FoLU) dapat berkontribusi hingga 60 persen dari total target penurunan emisi Indonesia.

“Untuk mencapai target itu, pemerintah menyadari pentingnya dukungan dari semua pemangku kepentingan, terutama sektor swasta dan perusahaan atau badan milik negara (BUMN),” kata Alue.

(Baca juga: Menilik Berbagai Upaya Indonesia untuk Mencegah Perubahan Iklim)

Selain itu, Alue juga menyoroti Laporan Ekonomi Hijau UNEP yang menyebut bahwa penerapan konsep ekonomi hijau harus berlangsung secara efektif dan adil.

Artinya, para pemangku kepentingan harus memastikan keadilan dalam proses transisi menuju ekonomi rendah karbon, penggunaan sumber daya yang efisien, serta pencapaian inklusi sosial.

“Peran sektor swasta harus mencakup penanganan adaptasi masyarakat yang rentan. Selain itu, sektor swasta juga harus berkontribusi pada perencanaan pengembangan dan implementasi strategi adaptasi iklim.

Menurut Alue, hal tersebut dapat dilakukan melalui kerja sama dengan berbagai sektor khusus, misalnya pembiayaan, teknologi, dan kewirausahaan.

Bukti nyata dukungan sektor swasta

Diskusi semakin lengkap dengan kehadiran Managing Director RGE Anderson Tanoto. Untuk diketahui, RGE merupakan induk dari grup perusahaan berbasis sumber daya alam. Salah satunya adalah APRIL Group.

Dalam beberapa tahun terakhir, APRIL Group menunjukkan komitmennya untuk berinvestasi dalam upaya mendukung mitigasi iklim dan pembangunan berkelanjutan.

Managing Director RGE Anderson Tanoto dalam sesi diskusi bertajuk ?Becoming the World?s Leader in Green Economy: Leading in NDC Implementation? pada gelaran COP26 di Glasgow, Skotlandia APRIL Group Managing Director RGE Anderson Tanoto dalam sesi diskusi bertajuk ?Becoming the World?s Leader in Green Economy: Leading in NDC Implementation? pada gelaran COP26 di Glasgow, Skotlandia

APRIL merupakan produsen serat, pulp, dan kertas berkelanjutan yang beroperasi di Pangkalan Kerinci, Provinsi Riau.

Lewat brand PaperOne, APRIL dikenal sebagai produsen kertas premium asal Indonesia yang penjualannya mampu menembus hingga 70 negara di dunia.

(Baca juga: PaperOne Kenalkan Program Daur Ulang Limbah Kertas Terbaru di Expo 2020 Dubai)

Anderson menjelaskan, sebagai bentuk aktif dan komitmen perusahaan dalam mendukung pembangunan berkelanjutan dan program prioritas pemerintah, APRIL telah meluncurkan visi APRIL2030 pada 2020. Salah satu fokus dalam visi satu dekade ini adalah upaya untuk membantu pengurangan emisi dan mengatasi perubahan iklim.

Komitmen APRIL2030 mencakup target pencapaian net-zero emission dari penggunaan lahan dan pengurangan intensitas produksi karbon hingga 25 persen.

Anderson melanjutkan, pihaknya juga berkomitmen untuk memastikan tidak adanya net-zero loss di kawasan hutan yang dilindungi di seluruh wilayah operasi perusahaan.

“Salah satu upaya nyata kami adalah pembangunan panel surya (solar panel) sebagai energi terbarukan untuk menggerakkan pabrik. Saat ini, kami telah menyelesaikan instalasi 1 mega-watt (MW) di area operasional,” ujar dia.

Sementara itu, APRIL menargetkan pemasangan panel surya berkapasitas 20 MW tersebut akan selesai pada 2025. Panel surya ini diperkirakan akan menjadi instalasi panel surya terbesar yang diinisiasi swasta di Indonesia.

Restorasi lahan gambut

Dalam sesi tersebut, Anderson juga menjelaskan bahwa kunci lain untuk mengatasi perubahan iklim adalah perlindungan dan restorasi hutan, termasuk lahan gambut.

Dia menyoroti dampak positif dari program restorasi ekosistem hutan di lahan gambut yang diinisiasi APRIL Group, yakni Restorasi Ekosistem Riau (RER).

Adapun kawasan RER mencakup 150.000 hektare (ha) hutan lahan gambut di Semenanjung Kampar dan Pulau Padang. Kedua wilayah ini diperkirakan memiliki luas setara London, Inggris.

(Baca juga: Perbaiki Hutan Rawa Gambut, Restorasi Ekosistem Riau Catat Kemajuan Signifikan)

Menurut Anderson, keanekaragaman hayati, khususnya lahan gambut, punya peran penting dalam menjaga emisi karbon.

“Kedua elemen itu harus berdampingan. Kami percaya, RER dapat menjadi proyek restorasi yang menggabungkan kedua elemen tersebut,” kata Anderson.

Selain melalui restorasi lahan gambut, komitmen untuk mencegah perubahan iklim juga diwujudkan APRIL Group melalui program Public Private Partnership atau Kerja Sama Pemerintah-Badan Usaha (KPBU) dengan KLHK dalam mengembangkan pembibitan modern di Rumpin, Bogor, Jawa Barat.

Setelah beroperasi penuh, pembibitan itu nantinya dapat menghasilkan 12 juta bibit untuk upaya reboisasi dan restorasi nasional, terutama di daerah rawan bencana.

Dalam kerja sama tersebut, APRIL memberikan pengetahuan atau transfer knowledge dalam pengelolaan pembibitan modern skala besar.

Konsep itu serupa dengan fasilitas nursery APRIL di Riau yang sempat dikunjungi Presiden Jokowi pada 2020.

“Kami berharap, KPBU dapat menjadi langkah awal untuk membuka kemitraan lain dengan pemerintah. Tak hanya APRIL, tetapi juga sektor swasta lain,” ujar Anderson.

Untuk diketahui, sesi tersebut juga memaparkan kesiapan sektor swasta Indonesia dalam menghadapi tantangan dan peluang yang muncul akibat perubahan iklim.

Ketua Kadin Arsjad Rasjid menilai, kolaborasi kuat antara sektor publik dan swasta serta pihak internasional dapat membangun ekonomi hijau yang tangguh untuk masa depan Indonesia.

“Pembangunan ekonomi berkelanjutan di Indonesia berpotensi menciptakan nilai hingga 200-250 miliar dollar AS di beberapa bidang, seperti bio-ekonomi, energi terbarukan, dan pengelolaan limbah,” imbuh Arsjad.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau