Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jurnalisme Kebangsaan: Ini Alasan Gen Z Lebih Suka Belajar Tatap Muka

Kompas.com - 26/05/2023, 17:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Oleh: Aprilia Prasetya | Community Team Jurnalisme Berkebangsaan Kompas Gramedia | Powered by Kompas Gramedia

KOMPAS.com - Pandemi Covid-19 di Indonesia telah memberikan dampak signifikan pada sistem pendidikan. Para siswa diharuskan beradaptasi dengan perubahan metode pembelajaran dari luring menjadi daring.

Hal ini tentunya menimbulkan pertanyaan baru di benak masyarakat, apakah perubahan signifikan tersebut membawa solusi efektif bagi pendidikan di Indonesia? Untuk mendapatkan jawabannya kita akan coba melihat salah-satu program yang digagas Kompas Gramedia, Jurnalisme Berkebangsaan.

Jurnalisme Berkebangsaan merupakan program yang dijalankan Kognisi.id berupa inisiatif memperkuat komunitas dan mengarusutamakan nilai kebangsaan di dunia digital agar mampu menciptakan konten-konten positif.

Para peserta diarahkan untuk mengikuti pembelajaran mandiri mengenai jurnalistik di Kognisi.id. Di sini peserta akan mendapatkan course yang berisi pembelajaran kolaboratif seperti sesi mentoring dan sesi kolaboratif, serta praktik langsung dalam pembuatan konten digital. 

Pada bulan Maret dan April 2023 lalu, 9 dari 27 komunitas Jurnalisme Berkebangsaan yang berasal dari para siswa tingkat SMA/MA atau dapat disebut dari kalangan Gen-Z, mengikuti kegiatan sesi kolaboratif secara daring dan luring.

Sesi kolaboratif luring dan daring, mana lebih diminati?

Dalam kegiatan ini peserta mendapatkan pembelajaran langsung melalui sesi kolaboratif, di mana peserta akan berdiskusi suatu permasalahan secara berkelompok untuk menemukan solusi terbaik.

Baca juga: Jurnalisme Berkebangsaan sebagai Peningkat Kualitas Guru Indonesia

Kita dapat melihat perbedaan yang cukup menonjol dari kinerja peserta dalam sesi kolaboratif daring dan luring. Pada sesi kolaboratif daring, peserta yang hadir sebanyak 70 peserta.

Jumlah tersebut terbilang cukup banyak, karena mudahnya aksesibilitas peserta yang hanya perlu bergabung melalui Zoom Meeting saja. Namun, mereka cenderung kurang aktif dalam berdiskusi.

Hanya 1-2 orang dalam kelompok yang aktif memberikan pendapat dan tidak seluruh anggota kelompok berkontribusi. Bahkan terdapat kelompok yang hanya berdiskusi melalui kolom komentar dan tidak menyalakan mikrofonnya.

Berdasarkan penilaian dari tim Jurnalisme Berkebangsaan, hanya 6 dari 9 kelompok yang aktif berdiskusi dalam sesi kolaboratif daring.

Pada sesi kolaboratif luring, jumlah peserta yang hadir adalah 60 orang. Jumlah tersebut lebih rendah jika dibandingkan dengan partisipasi peserta di sesi daring, namun mereka lebih aktif berkontribusi pada sesi ini.

Mayoritas dari anggota kelompok aktif memberikan pendapatnya. Para peserta yang berasal dari komunitas yang berbeda-beda saling berkenalan serta kompak dalam berbagi tugas sehingga diskusi dapat berjalan dengan lancar.

Hal tersebut dapat disebabkan oleh pada sesi luring, peserta harus lebih berupaya untuk hadir di tempat kegiatan sehingga fokus utama mereka hanya untuk mengikuti sesi tersebut. Berdasarkan penilaian dari tim Jurnalisme Berkebangsaan, 10 dari 10 kelompok aktif berdiskusi dalam sesi kolaboratif luring.

Berdasarkan riset diatas terlihat Gen-Z akan lebih aktif mengikuti pembelajaran secara luring. Riset ini juga didukung testimoni salah-satu anggota komunitas peserta sesi kolaboratif daring dan luring, yang menunjukkan pembelajaran luring lebih mengasyikkan.

Menurutnya, “Lebih seru mengikuti sesi kolaboratif luring karena bisa bertemu langsung dengan teman-teman baru, diskusi menjadi lebih enak kalau secara langsung karena lebih klop.

Jika secara daring, cukup susah untuk berdiskusi mungkin karena kendala internet atau masih malu-malu untuk ngobrol”.

Gen Z lebih suka sekolah tatap muka pascapandemi 

Fakta lain juga mengungkapkan bahwa menurut studi dari PEW Research, 65 persen remaja mengatakan mereka lebih suka sekolah dengan tatap muka setelah pandemi Covid-19 berakhir. Hal tersebut dapat disebabkan oleh:

Baca juga: 8 Kesalahan Jobseeker yang Berujung Penolakan Kerja

  • Interaksi tatap muka: salah satu keuntungan terbesar dari pembelajaran luring adalah kesempatan untuk interaksi tatap muka agar mampu berkembang lebih baik. Gen-Z yang dikenal dengan ketergantungan pada teknologi, tetapi mereka menghargai koneksi sosial.
  • Terhindar dari gangguan: dalam lingkungan pembelajaran daring, mudah bagi mereka untuk terganggu oleh media sosial dan gangguan digital lainnya. Pembelajaran luring memberikan lebih sedikit gangguan dan lingkungan yang lebih terstruktur.
  • Akuntabilitas yang lebih besar: pembelajaran luring memberikan akuntabilitas yang lebih besar bagi Gen-Z. Di kelas tatap muka, Gen-Z lebih bertanggung jawab atas kehadiran, partisipasi, dan keterlibatan mereka. Akuntabilitas ini dapat membantu memotivasi dan memastikan bahwa mereka tetap pada jalur studinya.

Oleh karena itu, untuk menyikapi cara belajar Gen-Z dalam daring dan luring, para tenaga pengajar juga diharuskan untuk menyesuaikan metode pembelajaran yang digemari oleh Gen-Z.

Berikut merupakan beberapa tips yang dapat membantu untuk beradaptasi dengan metode pembelajaran tersebut:

  • Memahami gaya belajar Gen-Z: Gen-Z lebih menyukai pembelajaran interaktif yang memungkinkan mereka aktif dalam proses pembelajaran. Mereka lebih menghargai koneksi di dunia nyata. Gunakan metode pengajaran yang beragam seperti diskusi kelompok serta berbagai aktivitas interaktif.
  • Menumbuhkan rasa kebersamaan: Gen-Z menghargai kolaborasi dan kerja tim. Mulailah untuk menciptakan rasa kebersamaan di kelas dengan mendorong kegiatan kelompok, pembelajaran sesama siswa, dan diskusi kelas.
  • Berikan umpan balik dan dukungan positif: Gen-Z sangat membutuhkan umpan balik dan dukungan yang positif dari tenaga pengajar. Berikan umpan balik tentang tugas dan penilaian lainnya, memberikan dukungan, dan membantu apabila mengalami kendala.

Dengan menerapkan tips ini, para pengajar dapat beradaptasi dengan metode pembelajaran Gen-Z dan menciptakan lingkungan belajar yang memenuhi kebutuhan unik mereka.

Pada dasarnya, pembelajaran daring dan luring memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Namun terkait Gen-Z, terlihat bahwa pembelajaran luring lebih efektif dalam mendorong keterlibatan yang lebih dalam dan hasil yang lebih baik.

Hal tersebut tidak sepenuhnya untuk mengatakan bahwa pembelajaran daring harus diabaikan, terutama karena dunia terus bergerak menuju lanskap yang lebih digital.

Sebaliknya, para pengajar harus mengenali nilai pembelajaran luring dan berusaha untuk menciptakan lingkungan yang menyeimbangkan kedua metode pembelajaran tersebut.

Baca juga: Kesetaraan Gender bagi Pekerja Perempuan

Metode belajar memang memiliki tantangan tersendiri bagi para pengajar. Namun, Jurnalisme Berkebangsaan hadir sebagai solusi untuk meningkatkan partisipasi dan performa Gen-Z dalam pembelajaran kolaboratif baik secara daring maupun luring.

Dengan demikian dapat membantu generasi pembelajar berikutnya, termasuk Gen Z, untuk berhasil di dunia digital dan tatap muka.

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com