KOMPAS.com - Nikel disebut menjadi sumber daya alam yang menjanjikan dan memiliki peluang tinggi untuk perekonomian di suatu wilayah dan negara.
Saat ini, hilirisasi nikel menjadi isu penting bagi Indonesia di tengah tahun politik.
Pelarangan ekspor bijih nikel dan peningkatan pengolahan domestik telah meningkatkan nilai ekspor nikel dari 4 miliar dollar AS pada 2017 menjadi 34 miliar dollar AS pada 2022, atau meningkat 750 persen.
Baca juga: Deforestasi di RI Tembus 4,5 Juta Hektar, Nikel Penyebab Terbesar
Akan tetapi, klaim dampak positif dari hilirisasi nikel seringkali mengabaikan efek terhadap risiko lingkungan hidup maupun kesehatan masyarakat.
Menurut studi terbaru dari Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA) dan Center of Economic and Law Studies (Celios), ada berbagai dampak negatif di samping keuntungan ekonomi dari industri nikel.
Dalam studi terbaru berjudul "Membantah Mitos Nilai Tambah, Menilik Ulang Industri Nikel" tersebut, CREA dan Celios melakukan kajian mendalam mengenai dampak industri nikel terhadap ekonomi, ekologi, dan kesehatan masyarakat.
Studi tersebut berfokus pada tiga provinsi utama operasi peleburan nikel yakni Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, dan Maluku Utara.
Di ketiga provinsi tersebut, laju pertumbuhan industri nikel akan menyumbang 4 miliar dollar AS atau Rp 62,8 triliun pada tahun kelima pembangunannya.
Baca juga: Industri Baterai dan Kendaraan Listrik Tak Sesuai Eksploitasi Nikel
Namun setelah itu, dampak negatif industri ini terhadap lingkungan dan produktivitas pertanian maupun perikanan akan mulai memengaruhi total output perekonomian, dan menurun secara drastis setelah tahun kedelapan.
Direktur Eksekutif Celios Bhima Yudhistira mengatakan, meski nikel diklaim menjanjikan dan memiliki peluang yang sangat besar bagi negara, ada dampak negatif yang mengintai.
"Dampaknya terhadap masyarakat sekitar, terutama kesehatan dan sumber mata pencaharian, menempatkan mereka pada risiko yang besar," ungkap Bhima dikutip dari siaran pers, Selasa (20/2/2024).
Salah satu dampak negatif dari industri nikel menurut studi tersebut adalah degradasi lingkungan seperti menurunnya kualitas air, tanah, dan udara.
Dampak tersebut secara langsung akan menyebabkan kemerosotan dalam jumlah nilai mata pencaharian pada nelayan dan petani di sekitar kawasan industri.
Baca juga: Hilirisasi Nikel Picu Kerusakan Sungai di Halmahera
Studi tersebut memproyeksikan, dalam 15 tahun ke depan, para petani dan nelayan akan mengalami kerugian hingga Rp 3,64 triliun.
Selain itu, klaim tentang proyek industri nikel yang disebut mampu meningkatkan kesejahteraan penduduk lokal melalui penyerapan tenaga kerja dan kenaikan upah turut terbantahkan dalam studi ini.
Peningkatan dalam penyerapan tenaga kerja hanya akan terjadi pada tahun ketiga pada saat tahap konstruksi pabrik, kemudian cenderung menurun hingga tahun ke-15.
Fenomena tersebut terjadi seiring dengan dampak negatif dari kehadiran industri nikel berpengaruh ke serapan kerja sektor usaha lainnya khususnya pertanian dan perikanan.
Baca juga: Hilirisasi Nikel Babat Puluhan Ribu Hektare Hutan di Halmahera
Hal ini tak terlepas dari keberadaan operasional pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara captive yang keberadaannya melekat pada kawasan industri, khususnya pengolahan nikel.
Dari 10,8 gigawatt (GW) kapasitas operasi seluruh PLTU batu bara di Indonesia, lebih dari 75 persennya atau 8,2 GW didedikasikan untuk pengolahan logam.
Dari jumlah tersebut, nikel saja mengkonsumsi tiga perempatnya atau sekitar 6,1 GW.
Analis CREA Katherine Hasan menuturkan, ketergantungan industri terhadap PLTU batu bara akan menyebabkan setidaknya 3.800 kematian setiap tahunnya dalam dua tahun ke depan dan hampir 5.000 kematian pada akhir dekade ini.
"Sehingga menyebabkan beban ekonomi sebesar 2,63 miliar dollar AS dan 3,42 miliar dollar AS per tahun pada periode yang sama," kata Katherine Hasan.
Baca juga: Pemerintah Diminta Perketat Regulasi dan Pengawasan Hilirisasi Nikel
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya