KOMPAS.com — Greenpeace menyatakan bahwa meski Peraturan Menteri tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah olah Produsen sudah terbit sejak 2019, hingga kini baru 50 dari 5000 produsen yang menyetorkannya kepada pemerintah.
Zero Waste Campaigner Greenpeace, Ibar Akbar, menyebut bahwa rentang yang sangat jauh itu disebabkan oleh berbagai tantangan yang belum berhasil diatasi, baik di pihak pemerintah maupun produsen.
Salah satu tantangan terbesar, menurutnya, adalah tidak adanya aturan yang bersifat memaksa. Produsen tidak diwajibkan secara tegas untuk menjalankan peta jalan tersebut sehingga mereka merasa tidak perlu memenuhi aturan yang telah ada.
“Padahal tanpa aturan yang tegas, limbah plastik salah kelola akan meningkat hingga 90 persen pada tahun 2040,” ujar Ibar Akbar dalam acara Greenpeace Indonesia "Multistakeholder Forum: Implementasi Peta Jalan Pengurangan Sampah" pada Senin (30/6/2025).
Baca juga: Lewat Label Kota Kotor, KLH Dorong Perbaikan Pengelolaan Sampah
Ia menyoroti, masyarakat sebenarnya sudah menunjukkan kemampuan untuk beradaptasi dalam mengurangi limbah plastik. Ia mencontohkan berkurangnya penggunaan plastik sekali pakai secara signifikan saat larangan resmi diterapkan di retail-retail Jakarta.
“Awalnya kita tahu susah, tetapi karena terpaksa dan dibiasakan, akhirnya terbiasa juga untuk tidak menggunakan plastik sekali pakai saat berbelanja,” jelas Ibar.
Kebiasaan positif juga muncul dalam kegiatan Greenpeace. Peserta bersedia memakai botol minum. Hasil riset mereka, People and Plastic, menunjukkan bahwa masyarakat juga bersedia mengurangi plastik, baik dari sisi konsumsi (hilir) maupun produksi (hulu).
Namun, Ibar menegaskan bahwa pilihan masyarakat terhadap gaya konsumsi berkelanjutan tetap bergantung pada alternatif yang tersedia. Tanpa peran aktif pemerintah, produsen akan kesulitan menghadirkan inovasi yang mendukung pengurangan plastik.
“Tetapi tanpa peran pemerintah juga, produsen akan kebingungan untuk melakukan inovasi dalam mengurangi penggunaan plastik dalam produknya,” ujar Ibar.
Baca juga: Danone Dorong Tanggung Jawab Kolektif Atasi Sampah Plastik
Ia menambahkan, regulasi yang kuat juga penting untuk mendukung start-up yang ingin mengembangkan skala inovasi dalam pengelolaan sampah. Menurutnya, masyarakat dan produsen sebenarnya mampu dan bersedia mengurangi plastik, asalkan ada dukungan kebijakan yang jelas.
“Tapi ini juga nggak bisa harus saling tunggu. Masyarakat nunggu produsen, produsen nunggu aturan dari pemerintah. Setiap lini harus mulai bergerak. Masyarakat dalam kehidupan sehari-harinya, produsen juga harus proaktif untuk mendorong diskusi untuk adanya regulasi tentang ini,” katanya.
Ibar juga menyoroti pentingnya keterlibatan berbagai pemangku kepentingan lintas sektor. Jika bicara soal penggunaan kembali kemasan produk, maka kementerian seperti Kesehatan, Perdagangan, hingga BPOM harus terlibat untuk memastikan tidak ada aturan yang tumpang tindih.
Adapun, menjawab berbagai tantangan tersebut, Greenpeace menginisiasi gerakan Champion of Changes yang didukung oleh Briefing from Plastics dan Plastic Pollution Coalition. Gerakan ini membangun koalisi di 390 negara untuk mendukung pengurangan plastik sekali pakai dan mendorong sistem daur ulang.
Dalam kesempatan tersebut, Ibar juga mengajak para pelaku bisnis untuk bergabung dalam Champion of Changes, agar bersama-sama memperkuat komitmen menuju praktik bisnis yang lebih bertanggung jawab terhadap limbah yang di hasilkan dan berkelanjutan.
Baca juga: Mengapa Bioplastik Bukan Solusi Krisis Sampah Plastik?
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya