KOMPAS.com - Mayoritas perusahaan kehutanan tropis terkemuka tidak mengungkapkan dari mana asal bahan baku mereka.
Ini berarti menurut laporan Zoological Society of London (ZSL) perusahaan-perusahaan tersebut terancam gagal mematuhi Peraturan Produk Bebas Deforestasi Uni Eropa (EUDR) yang akan segera berlaku.
Laporan penilaian Sustainable Palm Oil Transparency Toolkit (SPOTT) terbaru dari ZSL menemukan bahwa hanya 18 persen dari 100 perusahaan kehutanan tropis terbesar di dunia yang mengungkapkan negara asal bahan baku mereka.
Selain itu, seperti dilansir dari Edie, Jumat (5/9/2025), hanya 4 persen yang menyatakan persentase pasokan mereka yang dapat dilacak hingga ke tingkat unit pengelolaan hutan (FMU).
Penilaian ini juga menemukan bahwa tidak ada satu pun perusahaan yang diteliti mempublikasikan peta berkoordinat geografis untuk unit pengelolaan hutan (FMU) milik pihak ketiga.
Baca juga: Deforestasi Amazon Kurangi Curah Hujan dan Picu Kenaikan Suhu
Hanya 3 persen perusahaan yang melaporkan seberapa besar pasokan mereka telah diverifikasi sebagai produk bebas deforestasi.
Tanpa kejelasan mengenai sumber dan pasokan, perusahaan tidak bisa membuktikan kepada pemangku kepentingan bahwa pengadaan mereka bertanggung jawab.
Mengingat industri kayu dan bubur kertas bernilai 480 miliar dolar AS per tahun, ZSL menyatakan bahwa kegagalan kecil dalam melacak asal-usul produk bisa membahayakan nilai pasar hingga miliaran dolar.
Laporan ini pun menunjukkan kurangnya kepatuhan terhadap EUDR yang perlu diwaspadai.
Peraturan tersebut menetapkan bahwa produk-produk dari daging sapi, kakao, kopi, minyak sawit, karet alam, kedelai, atau kayu yang dijual di pasar Uni Eropa harus diproduksi secara legal dan "bebas deforestasi".
Definisi "bebas deforestasi" adalah produk yang ditanam di lahan yang tidak mengalami deforestasi setelah tahun 2020.
EUDR menempatkan kewajiban kepatuhan pada bisnis importir dan bisnis hulu, termasuk produsen.
Perusahaan-perusahaan besar harus menunjukkan bahwa rantai pasokan mereka di luar negeri dapat dilacak dan bebas dari semua deforestasi ilegal. Organisasi-organisasi kecil pada akhirnya juga akan dicakup oleh peraturan ini.
Baca juga: 2025, Kemenhut Targetkan 100 Ribu Hektare Hutan Adat Resmi Diakui
Aturan ini dijadwalkan mulai berlaku pada 30 Desember 2025 untuk perusahaan besar dan 30 Desember 2026 untuk perusahaan kecil dan mikro.
Jadwal ini ditunda satu tahun setelah Uni Eropa mendapat tekanan dari berbagai perusahaan dan negara-negara pengekspor utama, seperti Indonesia.
"Melindungi hutan-hutan ini bukanlah pilihan. Mereka menjaga air kita tetap bersih, menyaring udara, dan menstabilkan iklim kita. Menjaga mereka berarti menjaga kehidupan yang kita kenal," kata Sam Ross, ahli kayu dari ZSL yang memimpin penilaian SPOTT.
Namun kesenjangan-kesenjangan ini mengancam akses pasar perusahaan hulu, kepercayaan investor, dan kepatuhan terhadap peraturan yang semakin ketat dan risiko ini akan mengalir ke seluruh rantai pasokan.
Bagi para pembeli hilir, kurangnya data sumber yang jelas dapat melemahkan alat verifikasi paling canggih sekalipun, seperti pemantauan satelit dan pengujian ilmiah asal-usul produk.
Pengungkapan publik adalah langkah pertama yang sangat penting dalam proses uji tuntas. Semua alat verifikasi bergantung pada pengetahuan tentang klaim sumber suatu produk.
Baca juga: Meski Dianggap Imperialisme, EUDR Bisa Jadi Jalan Perbaikan Tata Kelola Komoditas
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya