KOMPAS.com - Indonesia belum memiliki regulasi karbon yang jelas sebagai acuan. Misalnya, kasus tumpang tindih antara proyek karbon komunitas Bujang Raba dengan BioCarbon Fund yang dikelola pemerintah bekerja sama dengan Bank Dunia di Provinsi Jambi.
Skema BioCarbon Fund, yang berbasis pembayaran hasil, mencakup seluruh wilayah provinsi, telah membatasi ruang gerak masyarakat Bujang Raba untuk mengembangkan skema karbon lainnya. Situasi tersebut berpotensi menimbulkan penghitungan ganda, yang mana satu area dihargai dalam dua skema berbeda.
"Kalau konteksnya ke regulasi, sampai hari ini belum ada yang menjamin bahwa skema itu (pasar karbon sukarela atau voluntary carbon market) bisa dilakukan oleh masyarakat secara berkelanjutan, karena ada beberapa yang tumpang tindih," ujar Senior Advisor KKI Warsi, Rudi Syaf dalam sebuah webinar, Jumat (26/9/2025).
Padahal, melalui skema karbon non-pasar, komunitas Bujang Raba telah membuktikan kemampuan mereka dalam menjaga hutan.
Dalam skema ini, pihak yang membayar karbon tidak bertujuan mendapatkan kredit karbon, melainkan karena kepedulian terhadap upaya komunitas Bujang Raba dalam menjaga hutan dan menyerap emisi karbon.
Dari skema karbon non-pasar, komunitas Bujang Raba memperoleh dana yang tidak terlalu besar untuk ukuran lima desa. Jadi, melalui musyawarah, komunitas Bujang Raba memutuskan untuk memanfaatkan dana tersebut untuk sunatan massal pada 2018 lalu.
Di tahun-tahun berikutnya, komunitas Bujang Raba mengalokasikan 20 persen dana yang diperoleh untuk membiayai patroli dan kegiatan menjaga hutan lainnya.
Namun, pada 2021, komunitas Bujang Raba menerima surat dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KHLK saat itu) yang berisi perintah untuk menghentikan kegiatan karbon non-pasar karena dianggap dapat mengurangi target NDC (Nationally Determined Contribution) Indonesia.
"Di situlah kami berkomunikasi untuk mengklarifikasi bahwa yang terjadi disini tidak ada karbon kredit yang pindah karena sifatnya ini layanan ini layanan lingkungan pembayaran. Jadi, yang membayarnya bisa individu, bisa lembaga, tidak memerlukan kredit karbon. Jadi, berbeda dengan perdagangan karbon. Itu kami klarifikasi, tapi izin tetap tidak didapat, sehingga pasca 2021, komunitas Bujang Raba menghentikan dulu kegiatannya," tutur Rudi.
Saat ini, pemerintah sedang menggodok regulasi terkait perdagangan karbon dari perhutanan sosial, termasuk kemungkinan adanya wilayah kantong (enclave) seperti Bujang Raba.
Selain permasalahan regulasi, komunitas Bujang Raba juga menghadapi ancaman deforestasi, terutama aktivitas penambangan emas ilegal yang dibeking oknum-oknum tertentu.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya