KOMPAS.com - Kebutuhan listrik yang besar pusat data untuk mengoperasikan kecerdasan buatan (AI) dianggap memperlambat upaya peralihan ke energi bersih, bahkan memaksa pembangkit listrik berbahan bakar fosil untuk tetap beroperasi.
Tingginya tingkat konsumsi air pusat data juga menimbulkan kekhawatiran tersendiri.
Kini, ada masalah baru yang muncul akibat naiknya tren penggunaan AI dan pusat data. Aktivis kesehatan mulai mencemaskan adanya masalah lingkungan baru yakni polusi PFAS yang berhubungan dengan operasional pusat data tersebut.
PFAS adalah kelompok yang terdiri dari kurang lebih 16.000 jenis zat kimia. Fungsi utamanya adalah memberikan sifat antifoto, antinoda, dan antilemak pada produk.
Senyawa ini berbahaya karena diduga menjadi penyebab kanker, cacat lahir, kekebalan tubuh yang melemah, kolesterol tinggi, gangguan ginjal, dan penyakit serius lainnya.
Zat ini dikenal sebagai "bahan kimia abadi" karena tidak bisa terurai secara alami di alam.
Baca juga: Meta Bangun Pusat Data dengan Kayu Rekayasa agar Lebih Berkelanjutan, Cukupkah?
Melansir Guardian, Sabtu (4/10/2025) perusahaan teknologi raksasa seperti Google, Microsoft, dan Amazon sangat bergantung pada pusat data.
Fasilitas ini berfungsi menyimpan server dan perlengkapan jaringan yang diperlukan untuk mengolah semua data digital di dunia.
Kini, lonjakan popularitas AI semakin memicu kebutuhan akan pembangunan lebih banyak pusat data.
Para aktivis menyoroti kekhawatiran khusus terkait penggunaan gas PFAS (f-gas) di data center.
Gas ini dikenal sebagai gas rumah kaca yang sangat kuat, yang mengindikasikan bahwa dampak lingkungan dari data center jauh lebih parah dari perkiraan awal.
Jenis f-gas lain di fasilitas ini terurai menjadi senyawa berbahaya yang saat ini sedang menumpuk secara cepat di seluruh penjuru bumi.
Belum ada pengujian yang dilakukan untuk mendeteksi polusi PFAS di udara atau air, dan perusahaan tidak wajib melaporkan jumlah bahan kimia yang mereka pakai atau lepaskan ke lingkungan.
Namun demikian, beberapa organisasi lingkungan kini mulai mendorong undang-undang yang akan mewajibkan adanya pelaporan yang lebih ketat.
"Kami tahu PFAS ada di pusat data, dan zat itu pasti berakhir di suatu tempat di lingkungan," kata Jonathan Kalmuss-Katz, seorang pengacara dari organisasi nirlaba Earthjustice.
"Masalah ini sangat kurang dipelajari saat kita terus membangun data center, dan tidak ada informasi yang memadai tentang dampak jangka panjangnya," paparnya lagi yang juga memantau penggunaan PFAS di data center.
Para aktivis lingkungan berpendapat bahwa pusat data meningkatkan polusi PFAS melalui dua jalur.
Pertama, PFAS diperlukan untuk operasional pusat data misalnya pada sistem pendingin, yang hampir pasti menimbulkan pencemaran di lokasi tersebut.
Baca juga: Ide Pusat Data Masa Depan: Di Laut, Pakai Energi Angin, Hemat Listrik
Kedua, PFAS yang ada pada perangkat di pusat data harus dikelola limbahnya. Ini menjadi masalah karena zat kimia ini tidak dapat dihilangkan sepenuhnya dari lingkungan.
Selain itu, sejumlah besar PFAS dipakai dalam proses manufaktur semikonduktor untuk data center, sehingga memperparah polusi di lokasi pabrik-pabrik produksi komponen tersebut.
Industri pusat data berargumen bahwa f-gas yang bocor tidak berbahaya karena akan terurai di udara menjadi senyawa yang dikenal sebagai Trifluoroacetic acid (TFA).
Riset terkini menunjukkan TFA jauh lebih toksik dari perkiraan awal, dan berpotensi mengganggu sistem reproduksi manusia layaknya zat PFAS lainnya.
Sementara itu menurut dokumen industri, setiap peralatan atau limbah PFAS yang sengaja dikeluarkan dari pusat data akan berakhir di tempat pembuangan akhir, di mana ia dapat mencemari perairan lokal, atau dibakar.
Namun, pembakaran tidak sepenuhnya menghancurkan senyawa PFAS tapi hanya memecahnya menjadi potongan-potongan yang lebih kecil yang masih berupa PFAS, atau menjadi produk sampingan lain dengan risiko kesehatan yang tidak diketahui.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya