KOMPAS.com - Menunda target net zero berpotensi menjebak bumi dalam kondisi panas ekstrem selama 1.000 tahun, dengan wilayah dekat garis khatulistiwa yang paling terdampak. Salah satunya Indonesia.
Temuan tersebut berdasarkan studi yang dipublikasikan di Environmental Research: Climate.
Baca juga:
"Hal ini terutama menjadi masalah bagi negara-negara yang lebih dekat dengan khatulistiwa, yang umumnya lebih rentan, dan di mana peristiwa gelombang panas yang melampaui rekor sejarah saat ini dapat terjadi setidaknya sekali setiap tahun atau lebih sering jika target net zero ditunda hingga 2050 atau setelahnya," jelas peneliti dari University of Melbourne sekaligus co-author studi tersebut, Dr. Andrew King, dilansir dari SciTechDaily, Selasa (9/12/2025).
Penelitian ini menggunakan pemodelan iklim canggih oleh ARC Centre of Excellence for 21st Century Weather dan CSIRO.
Tim ilmuwan memakai superkomputer untuk melihat bagaimana gelombang panas berkembang dalam 1.000 tahun setelah titik ketika emisi global akhirnya mencapai net zero.
Para ilmuwan menguji berbagai skenario pencapaian net zero, dimulai dari 2030 hingga 2060. Setiap penundaan lima tahun menunjukkan pola yang sama.
Menurut King, skenario yang lebih lambat selalu menghasilkan gelombang panas (heatwaves) yang lebih sering dan lebih ekstrem.
Baca juga:
Studi baru menunjukkan gelombang panas akan makin parah selama 1.000 tahun jika net zero tertunda. Wilayah di garis khatulistiwa paling terdampak.Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa gelombang panas tidak berhenti begitu saja setelah net zero tercapai.
Gelombang panas tetap lebih buruk dibanding era pra-industri selama minimal 1.000 tahun. Dalam beberapa wilayah, jika net zero tercapai setelah 2050, panas ekstrem bahkan makin memburuk seiring berjalannya waktu.
Pemanasan di lautan bagian selatan ikut memperparah kondisi ini. Laut yang terus menyimpan panas akan melepaskannya selama ratusan tahun sehingga gelombang panas akan tetap bertahan meskipun emisi sudah ditekan.
Banyak orang mengira bahwa kondisi iklim akan membaik setelah dunia mencapai net zero. Namun, menurut penulis utama Prof. Sarah Perkins-Kirkpatrick dari Australian National University, anggapan tersebut keliru.
Riset ini menunjukkan bahwa kondisi ekstrem tetap berlanjut dalam jangka panjang.
"Meskipun hasil penelitian kami mengkhawatirkan, hasil ini memberikan gambaran penting tentang masa depan, memungkinkan perencanaan dan implementasi langkah-langkah adaptasi yang efektif dan permanen," ucap Perkins-Kirkpatrick.
"Masih sangat penting bagi kita untuk mencapai kemajuan cepat menuju net zero permanen, dan mencapai net zero global paling lambat pada tahun 2040 akan penting untuk meminimalisasi keparahan gelombang panas," tambah dia.
Baca juga:
King menuturkan, hasil riset ini menunjukkan pentingnya pemangkasan emisi secara cepat dan adaptasi jangka panjang.
Infrastruktur publik, perumahan, dan layanan kesehatan harus dirancang ulang agar bisa menjaga manusia tetap aman dalam cuaca ekstrem. Apalagi proses adaptasi akan menjadi pekerjaan berabad-abad, bukan hanya dekade.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya