Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 07/04/2024, 15:59 WIB
Faqihah Muharroroh Itsnaini,
Hilda B Alexander

Tim Redaksi

 

KOMPAS.com - Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) melalui Pusat Riset Elektronika (PRE) tengah mengembangkan beberapa produk biosensor.

Peneliti Ahli Utama PRE BRIN Robeth Viktoria Manurung menyebut bahwa pihaknya fokus pada penelitian biosensor berbasis elektrokimia, dengan memanfaatkan komposit graphene/ZnO nanoparticles.

"Perangkat ini digunakan untuk mendeteksi kadar biomarker human SAA untuk treatment kanker paru maupun tingkat keparahan pasien penderita COVID-19," ujar Robeth, dikutip dari laman resmi, Minggu (7/4/2024).

Spesifikasi teknis dari biosensor yang sedang dikembangkan adalah jenis sampel berupa serum darah atau saliva pasien, menggunakan jenis transduser elektrokimia, dengan rentang pengukuran antara 10 hingga 200 miligram per liter. Perangkat ini bersifat portabel dan terkoneksi dengan smartphone.

Baca juga: Kemenkes dan WHO Berkongsi dalam 6 Pilar Transformasi Kesehatan

Selain itu, Robeth juga mengembangkan biosensor berbasis elektrokimia untuk deteksi virus dengue, menggunakan logam transisi metal oksida berbahan nikel-kobalt.

"Harapannya, perangkat ini akan digunakan sebagai peralatan portabel yang mampu dihubungkan dengan smartphone," imbuhnya. 

Selain penelitian biosensor, Robeth dan tim juga telah menghasilkan prototipe sensor untuk deteksi kandungan unsur hara tanah maupun deteksi pencemaran lingkungan.

Hasil-hasil prototipe tersebut menurutnya sudah dipublikasikan di jurnal global bereputasi menengah ataupun tinggi. 

Tentang biosensor

Robeth menjelaskan, biosensor adalah perangkat analisis yang menggabungkan komponen hayati dengan pendeteksi fisikokimia untuk mendeteksi zat kimia tertentu, sehingga menghasilkan luaran yang terukur.

Kelebihan perangkat yang diciptakannya antara lain bersifat portabel, mudah dioperasikan, dan tidak memerlukan backup supply. Biosensor yang dikembangkan juga dapat terintegrasi dengan IoT & machine learning.

Namun, menurut Robeth, perangkat yang dia kembangkan ini masih memiliki kelemahan, yakni pada bahan baku yang bergantung impor.

"Bahan baku untuk pembuatan biosensor sebagian besar merupakan produk impor. Hal ini berimbas kepada biaya produksi yang mahal," tuturnya.

Oleh karena itu, lanjut dia, perlu kolaborasi antara ilmuwan dan insinyur ataupun penggiat dari berbagai bidang, seperti biologi, kimia, ilmu material, dan elektronik. 

Ia mengatakan bahwa inovasi dalam desain sensor, material, teknik pemrosesan sinyal, dan metode analisis data sangat penting untuk mengatasi tantangan ini dan memajukan bidang biosensor.

"Kolaborasi ini dapat dilakukan dengan pihak dalam maupun luar negeri," katanya.

Halaman:

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau