KOMPAS.com - Pemerintah dapat mengajak China untuk berinvestasi pada komponen energi terbarukan untuk mempercepat transisi energi.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menyebut, China menawarkan banyak teknologi energi terbarukan yang harganya murah.
Ada beberapa langkah strategis untuk menarik investasi tersebut.
“Kalau Trump mulai terpilih Januari, artinya akan ada isu perang dagang. Maka Indonesia harusnya bisa menarik kesempatan lebih banyak dengan China untuk mereka berinvestasi di komponen energi terbarukan atau instalasi energi terbarukan,” ujar Bhima saat dihubungi, Selasa (24/12/2024).
Di China, lanjut dia, teknologi energi terbarukan kini makin berkembang seiring dengan harganya yang terjangkau. Hal ini membuka peluang bagi Indonesia untuk lebih banyak menggandeng investor China dalam sektor energi bersih.
Selain itu, negara-negara di Timur Tengah terutama Uni Emirat Arab (UEA), juga menjadi pemain penting dalam percepatan transisi energi.
Bhima mengatakan, Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di Waduk Cirata, Jawa Barat merupakan salah satu proyek besar yang mendapatkan pendaan dari UEA. PLTS tersebut memiliki kapasitas 192 megawatt peak (MwP) dan dapat menyuplai listrik untuk 50.000 rumah di sejumlah wilayah.
Baca juga: China Siap Produksi Setengah Energi Terbarukan Dunia pada 2030
“Mungkin mereka (UEA) enggak tertarik bergabung di dalam JETP (Just Energy Transition Partnership). Jadi harus dicari skemanya. Mungkin investor Timur Tengah juga butuh kejelasan perizinan, kejelasan regulasi insentif, juga karena Timur Tengah spesifik butuh keuangan syariah,” ungkap Bhima.
Untuk diketahui, JETP adalah kerja sama internasional dalam mendukung transisi energi yang adil dan berkelanjutan di negara-negara berkembang.
Kerja sama dengan negara-negara Asia Tenggara lainnya, seperti Vietnam juga dapat dilakukan. Sebab, perkembangan energi surya di Vietnam dinilai agresif.
“Mungkin Indonesia bisa mengadopsi juga strategi kebijakan dari Vietnam untuk menarik investasi-investasi di energi terbarukan,” tutur dia.
Baca juga: Bukan 75 GW, RI Harusnya Bangun 210 GW Energi Terbarukan
Di sisi lain, Bhima mencatat sejumlah pekerjaan rumah yang harus diselesaikan pemerintah untuk mencapai peralihan energi bersih.
Salah satunya, pengesahan RUU Energi Baru Terbarukan (EBT) yang mengatur lebih rinci mengenai power wheeling, agar memungkinkan distribusi energi terbarukan di tingkat komunitas.
“Kedua, kami dorong bagaimana pemerintah melarang pembangkit-pembangkit batu bara yang baru di kawasan industri, yang harusnya bisa dimasuki PLN lewat pembangunan energi terbarukannya,” jelas Bhima.
Lalu, mengusulkan pemerintah segera mengeluarkan daftar pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang akan dipensiunkan pada 2025. Hal ini dianggap sebagai komitmen untuk mengurangi ketergantungan pada energi fosil.
“Yang lainnya, insentif penguatan kapasitas domestik dan juga transisi energi yang melibatkan atau partisipatif dari masyarakat terdampak,” kata Bhima.
Baca juga: Australia-ASEAN Kerja Sama Pendanaan Energi Terbarukan
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya