JAKARTA, KOMPAS.com - Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menyebutkan, sustainable aviation fuel (SAF) atau bahan bakar pesawat ramah lingkungan bakal menekan emisi hingga 718 mega ton CO2 pada 2050.
Ahli dari Program Postdoc BRIN 2023-2025, Arif Rahman, menyampaikan industri penerbangan dunia menargetkan pengurangan 11,5 giga ton CO2 di tahun tersebut.
"Diprediksi juga pada tahun yang sama proses kebutuhan SAF sekitar 449 miliar liter secara global dalam satu tahun,” ujar Arif dalam keteranganya, Sabtu (19/4/2025).
Menurutnya, Indonesia memiliki tiga tujuan utama terkait target net zero emission (NZE) yakni mencapai dekarbonisasi aviasi yang mendukung tercapainya target dekarbonisasi global dan domestik, serta pengurangan emisi karbon aviasi dengan SAF.
Baca juga: Penggunaan BBM Kualitas Rendah Perlu dibatasi untuk Pangkas Emisi
Kemudian, mencapai kedaulatan energi dengan memenuhi kebutuhan energi sektor aviasi secara mandiri dengan memanfaatkan bahan baku domestik.
"Ketiga, penciptaan nilai ekonomi melalui hilirisasi bahan baku, penjualan SAF untuk pasar ekspor dan domestik, serta peningkatan investasi,” jelas Arif.
Kendati demikian, produksi SAF di Indonesia masih bergantung pada hydro-processed esters and fatty acids (HEFA), yang menggunakan palm kernel oil. Bahan ini kata Arief, belum ramah lingkungan.
Baca juga: Langkah Hijau Apple, Pangkas Emisi Gas Rumah Kaca Global Lebih dari 60 Persen
“Pentingnya keberlanjutan dalam produksi SAF antara lain mengurangi emisi gas rumah kaca, mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil, mendorong ekonomi sirkular," papar Arief.
"Mengurangi polusi udara lokal, mendukung pembangunan berkelanjutan, memenuhi regulasi dan tuntutan pasar,” imbuh dia.
Sementara ini, used cooking oil (UCO) atau minyak jelantah dan palm fatty acid destillate (PFAD) tengah dipertimbangkan untuk menjadi bahan baku SAF.
Arief menerangkan, produksi SAF membutuhkan metode Life Cycle Assessment (LCA). Ini merupakan metode sistematis untuk mengevaluasi dampak lingkungan dari suatu produk, proses, atau aktivitas dari awal sampai akhir siklus hidupnya.
Metode LCA mempertimbangkan berbagai tahapan mulai dari ekstrasi bahan baku, produksi, distribusi, penggunaan, hingga pembuangan akhir.
“LCA memiliki beberapa manfaat yang signifikan di Indonesia, seperti mengidentifikasi dampak lingkungan produk atau layanan, mengurangi biaya produksi, meningkatkan efisiensi produksi dan penggunaan sumber daya," tutur dia.
Di sisi lain, kelengkapan data LCA masih menjadi tantangan dalam produksi SAF.
Baca juga: 4 Perubahan Perilaku yang Paling Efektif untuk Menurunkan Emisi Karbon
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya