POLEMIK energi di Indonesia akhir-akhir ini seperti dua sisi mata uang yang tak bisa dipisahkan. Di satu sisi ada ambisi transisi menuju energi hijau, di sisi lain ada persoalan klasik tata kelola yang belum selesai.
Di tengah euforia pemerintah mempercepat bauran energi bersih, publik dikejutkan berita campuran etanol dalam bahan bakar minyak (BBM) Pertamina.
Campuran ini sejatinya dimaksudkan sebagai langkah menuju bahan bakar rendah karbon. Namun cara dan waktu penerapannya menimbulkan pertanyaan, apakah eksperimen energi hijau dilakukan dengan tata kelola transparan dan kesiapan teknis yang matang?
Dalam saat yang hampir bersamaan, muncul pula polemik lain tentang kebijakan kuota impor BBM, sehingga memicu keluhan dari operator SPBU swasta yang merasa kehilangan hak ekonomi dan peluang usaha.
Dua peristiwa ini, jika ditarik ke akar persoalan, sebenarnya bukan sekadar isu teknis tentang campuran bahan bakar atau alokasi kuota impor, melainkan potret nyata dari bagaimana transisi energi kita berjalan di tengah kabut ketidakpastian regulasi dan keadilan sosial yang belum sepenuhnya hadir.
Temuan campuran etanol dalam BBM menunjukkan bahwa arah kebijakan menuju biofuel sedang dipercepat. Namun transparansi publik belum mengikuti langkah yang sama cepatnya.
Masyarakat seolah hanya diberi tahu setelah fakta terjadi. Padahal perubahan formulasi bahan bakar menyentuh langsung aspek ekonomi, teknis kendaraan, hingga kepercayaan publik terhadap penyedia energi nasional.
Sementara itu, kebijakan kuota impor BBM yang hanya membuka ruang bagi Pertamina mencerminkan pendekatan monopsonistik dalam kebijakan energi mengembalikan posisi negara pada satu entitas korporasi tanpa membuka mekanisme kompetitif yang sehat.
Padahal, keberadaan SPBU swasta dan perusahaan energi non-BUMN seharusnya menjadi bagian dari ekosistem yang memperkuat distribusi energi nasional, bukan dianggap pesaing yang harus dikendalikan.
Baca juga: Monopoli Energi dan Ancaman bagi Investasi dan Pekerja
Kedua isu ini, jika diletakkan dalam satu bingkai, mencerminkan paradoks besar dalam tata kelola energi Indonesia: di satu sisi kita berbicara tentang dekarbonisasi dan transisi energi hijau, tetapi di sisi lain, masih bergulat dengan persoalan tata kelola lama yang berulang minim transparansi, ketimpangan akses pasar, dan kerapuhan koordinasi antar lembaga.
Akibatnya, kebijakan energi sering kali lahir sebagai reaksi, bukan strategi.
Dalam semangat menuju energi bersih, pemerintah berencana menerapkan campuran bioethanol 10 persen (E10) dan biodiesel 50 persen (B50) sebagai bagian dari strategi pengurangan impor BBM dan emisi karbon.
Secara teori, langkah ini sangat ideal. Biofuel adalah bentuk substitusi energi fosil yang memanfaatkan sumber daya domestik seperti tebu, singkong atau minyak sawit.
Namun dalam praktiknya, jalan menuju kemandirian energi ini tidak sesederhana menambah persentase campuran bahan bakar.
Ia menuntut kesiapan industri hulu, kapasitas pabrik, rantai pasok logistik, dan yang tak kalah penting mekanisme keadilan sosial bagi kelompok terdampak.
Produksi etanol nasional saat ini masih jauh dari memadai untuk memenuhi ambisi E10 secara nasional.
Kapasitas produksi yang terbatas membuat ancaman impor etanol menjadi nyata, dan itu justru menciptakan ketergantungan baru dari impor BBM menuju impor biofuel.
Jika hal ini terjadi, maka kebijakan bioethanol bisa kehilangan ruhnya sebagai alat kedaulatan energi dan malah berubah menjadi sekadar simbol hijau tanpa substansi kemandirian.
Di sisi lain, produksi etanol domestik berbasis tebu dan gula juga memunculkan dilema “food versus fuel”. Permintaan besar untuk bahan bakar dapat bersaing dengan kebutuhan pangan, mendorong kenaikan harga gula, atau mempersempit lahan pertanian pangan.
Risiko yang lebih subtil, namun sangat penting, adalah biaya sosial dan lingkungan yang muncul dari perluasan lahan tebu dan sawit untuk memenuhi kebutuhan biofuel.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya