RENCANA pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Pulau Gelasa, Bangka Belitung, menjadi salah satu proyek energi paling ambisius dalam sejarah Indonesia modern. Pemerintah menempatkannya sebagai bagian dari strategi besar transisi energi menuju emisi nol bersih dan ketahanan energi nasional.
Namun pada saat yang sama, muncul ketidakpastian sosial di tingkat lokal, terutama dari masyarakat nelayan yang khawatir terhadap dampak ekologis dan hilangnya ruang kelola laut.
Dua kepentingan yang sama-sama sahih kini saling berhadapan: kebutuhan negara atas energi bersih dan kebutuhan masyarakat lokal atas jaminan rasa aman serta keberlanjutan ruang hidup.
Di permukaan, PLTN Gelasa hadir dengan narasi teknologi tinggi. Reaktor modular berbasis thorium diklaim lebih aman dibanding teknologi nuklir generasi lama. Risiko kecelakaan berat disebut lebih kecil, sementara limbahnya dikatakan lebih sedikit dan lebih mudah dikelola.
Namun legitimasi sebuah proyek energi skala besar tidak pernah ditentukan oleh kecanggihan teknologinya saja. Pertanyaan yang jauh lebih krusial adalah: apakah publik percaya bahwa tata kelolanya mampu menjamin keselamatan, keterbukaan informasi, dan keadilan ekologis?
Dalam kebijakan energi modern, persoalan nuklir bukan lagi pertarungan antara “aman” dan “tidak aman”, tetapi antara “percaya” dan “tidak percaya”. Jika pemerintah menginginkan PLTN ini diterima sebagai pilar energi masa depan, sumber daya pertama yang harus diproduksi bukan listrik, melainkan kepercayaan publik.
Baca juga: PLTN Jadi Opsi Strategis Transisi Energi, Pendanaan Jadi Tantangan
Secara strategis, PLTN memiliki daya tarik besar. Indonesia masih bergantung pada batu bara dan gas sebagai sumber energi utama. Ketika komitmen iklim semakin diperketat, pembangkit rendah karbon menjadi kebutuhan jangka panjang. Thorium juga menjadi keunggulan kompetitif karena Indonesia memiliki cadangan besar. Dalam horizon kebijakan energi, PLTN dapat memperkuat posisi Indonesia di kawasan Asia Tenggara.
Tetapi proyek energi berskala besar tidak hanya diuji oleh kesiapan teknologi, melainkan oleh kesiapan tata kelola. Di Bangka Belitung, masyarakat nelayan menghadapi situasi yang berbeda. Bagi mereka, perubahan ruang pesisir berarti perubahan keberlanjutan mata pencaharian. Akses tradisional ke wilayah tangkap laut berpotensi terhambat oleh zona keamanan reaktor.
Pertanyaan mengenai keseimbangan manfaat dan risiko menjadi relevan ketika masyarakat yang terdampak langsung merasa tidak sepenuhnya mengetahui konsekuensi jangka panjang. Pada titik ini, kesenjangan informasi mulai membesar. Pemerintah menyatakan bahwa evaluasi tapak telah disetujui BAPETEN, tetapi masyarakat tidak mengetahui secara detail bagaimana dampak ekologis, cadangan mitigasi bencana, atau pengalihan kebutuhan ekonomi lokal disusun.
Sosialisasi yang telah dilakukan belum menjawab kekhawatiran substantif, karena orientasinya masih dominan teknokratis. Proyek energi yang sensitif tidak cukup diperkenalkan; proyek ini harus dapat dipertanggungjawabkan secara terbuka.
Baca juga: Jadi Lokasi Pembangunan PLTN, Bangka Belitung Diklaim Aman Gempa
Banyak negara maju membangun PLTN sebagai solusi energi rendah emisi. Namun salah satu pelajaran internasional paling berharga datang dari Jepang setelah tragedi Fukushima pada 2011. Jepang adalah negara dengan reputasi tinggi dalam keselamatan reaktor dan manajemen bencana. Meski demikian, setelah kecelakaan, penyelidikan resmi menyimpulkan bahwa akar masalah bukan murni teknis, tetapi tata kelola yang kurang transparan.
Publik merasa tidak sepenuhnya dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan sebelum PLTN beroperasi. Pasca Fukushima, kepercayaan publik runtuh, bukan karena teknologi “tidak modern”, tetapi karena risiko dipersepsikan tidak pernah benar-benar dibagikan secara terbuka kepada masyarakat.
Jepang belajar bahwa legitimasi sosial adalah syarat sebelum legitimasi teknis. Artinya, negara sebesar apa pun kapasitas teknologinya tetap dapat kehilangan dukungan publik jika tata kelola tidak dirancang secara partisipatif. Pelajaran inilah yang relevan bagi Gelasa. Indonesia tidak boleh mengulang kesalahan yang sama, yaitu menempatkan masyarakat hanya sebagai penerima informasi, bukan sebagai bagian dari proses penentuan risiko.
Baca juga: Survei UNS: 60 Persen Warga Bangka Belitung Setuju Pembangunan PLTN di Pulau Kelasa
Bagi nelayan Bangka Belitung, laut bukan sekadar pemandangan geografis. Laut adalah ekosistem ekonomi, ruang sosial, dan bagian dari identitas kolektif. Pulau Gelasa selama ini menjadi lokasi berteduh ketika kondisi cuaca memburuk. Jika zona keamanan reaktor menerapkan pembatasan ketat, peluang nelayan untuk mengakses wilayah tersebut dapat terhambat.
Kekhawatiran juga muncul terkait dampak residu termal pada arus laut dan biota pesisir. Bangka Belitung juga memiliki catatan panjang kerusakan ekologis akibat pertambangan timah. Banyak kawasan pesisir kehilangan produktivitas ekologis karena sedimentasi dan degradasi habitat. Dalam kondisi ekologi yang sudah lemah, risiko tambahan sekecil apa pun terasa berat bagi komunitas yang bertahan dari sumber daya laut.
Ketika pemerintah berbicara tentang energi nasional, masyarakat berbicara tentang keberlanjutan tempat tinggal mereka. Kedua dimensi ini sama pentingnya, tetapi sering kali tidak berada dalam meja dialog yang setara.
Baca juga: Indonesia Siap Bangun PLTN, Bagaimana Mitigasi Pembuangan Limbahnya?
Argumentasi teknis bahwa PLTN modular lebih aman tentu memiliki dasar, tetapi keselamatan bukan hanya urusan reaktor. Keselamatan adalah pengalaman yang dirasakan masyarakat, bukan hanya laporan yang diselesaikan regulator. Dengan kata lain, risiko dalam perspektif publik adalah fungsi dari transparansi, bukan hanya fungsi dari desain teknologi. Karena itu, PLTN Gelasa membutuhkan tata kelola risiko yang publik-sentris.
Ada beberapa prinsip dasar yang harus dipenuhi jika pemerintah ingin proyek ini memiliki legitimasi sosial:
Tanpa kerangka governance seperti ini, rasa aman publik tidak akan pernah terbentuk.
Baca juga: Diserbu Ubur-ubur, PLTN Perancis Langsung Lumpuh
Jika pemerintah ingin PLTN Gelasa diterima, maka keterlibatan masyarakat tidak dapat berhenti pada forum sosialisasi. Diperlukan mekanisme formal partisipasi publik agar masyarakat memiliki posisi setara dalam diskusi risiko. Salah satu bentuknya adalah pembentukan Dewan Pengawas Publik (Citizen Oversight Board) yang anggotanya berasal dari komunitas terdampak, akademisi lokal, dan pemantau independen.
Dewan ini memiliki fungsi bukan hanya menerima penjelasan, tetapi juga menilai, mempertanyakan, dan memberikan persetujuan sosial dalam tahapan penting pembangunan. Konsep ini telah diterapkan di beberapa negara dengan proyek energi risiko tinggi untuk memastikan bahwa masyarakat tidak kehilangan posisi dalam proses pengambilan keputusan.
Di era demokrasi energi, tata kelola risiko adalah urusan publik, bukan milik teknokrat semata.
Baca juga: RI Buka Peluang Pakai Teknologi China atau Rusia untuk Bangun PLTN
PLTN dapat menjadi lompatan besar bagi masa depan energi Indonesia. Namun sebuah proyek strategis hanya dapat disebut berhasil jika masyarakat merasa menjadi bagian dari keputusan, bukan korban dari keputusan.
Transparansi teknis perlu diterjemahkan ke dalam transparansi demokratis. Jika pemerintah menempatkan masyarakat sebagai mitra, bukan sebagai objek, maka kepercayaan publik akan tumbuh, dan risiko akan dilihat sebagai sesuatu yang dapat dikelola, bukan ditakuti.
Keputusan membangun PLTN bukan hanya urusan sains, tetapi urusan legitimasi publik. Dalam proyek bernilai strategis dan berdampak luas seperti ini, hak masyarakat untuk mengetahui dan mengawasi adalah syarat etis dan kebijakan. Transisi energi hanya dapat disebut adil jika masyarakat yang hidup berdampingan dengan PLTN diberi ruang untuk berperan aktif dalam menentukan masa depannya sendiri.
Baca juga: PLN Nusantara Power Gandeng Perusahaan Singapura Kaji Pembangunan PLTN di Babel
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya