KEMENTERIAN Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) baru menerbitkan draft final dokumen komitmen iklim Indonesia yang kedua (Second Nationally Determined Contribution/SNDC) untuk mendapat pengesahan DPR.
Setelah mendapatkan persetujan DPR, draft final itu akan diserahkan ke Sekretariat United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC).
Komitmen Indonesia dalam penanganan krisis iklim di dunia menjadi penting. Selain sebagai negara kepulauan yang rentan terdampak krisis iklim, Indonesia juga pengekspor batu bara, energi kotor yang menyebabkan meningkatnya gas rumah kaca (GRK). Emisi GRK inilah yang menyebabkan krisis iklim.
Banyak pihak ingin Pemerintah Indonesia lebih kuat komitmennya terhadap penanganan krisis iklim dan tentu saja mengadopsi nilai-nilai keadilan di dalam SNDC.
Nilai keadilan itu bukan hanya keadilan antara negara-negara maju dan berkembang, namun juga keadilan di dalam negeri Indonesia.
Di tengah begitu banyak harapan masyarakat dunia, pertanyaannya kemudian adalah kemana arah SNDC Indonesia?
Sayangnya, di dalam draft final SNDC itu masih menyisakan solusi palsu. Di sektor energi misalnya, masih memasukan Clean Coal Technology (CCT).
Penggunaan CCT ini hanyalah dalih untuk memperpanjang usia penggunaan batu bara, energi kotor yang emisinya merusak lingkungan hidup dan proses pertambangannya problematik.
Memasukan CCT sebagai bagian dari solusi iklim, jelas mencerminkan ketidakadilan dalam transisi energi.
Dalam draft final SNDC itu juga masih memasukan geothermal (panas bumi) sebagai bagian dari energi terbarukan yang akan dikembangkan.
Padahal, pembangunan geothermal di berbagai daerah seringkali mendatangkan resistensi dari masyarakat lokal. Banyak masyarakat lokal yang harus disingkirkan dari sumber-sumber kehidupannya oleh proyek geothermal.
Digusurnya masyarakat lokal dari sumber-sumber kehidupannya berakibat menurunnya kapasitas mereka untuk beradaptasi dengan krisis iklim.
Dalam konteks geothermal (juga biofuel dan biomass) yang masih masuk dalam kategori energi terbarukan menurut dokumen SNDC itu, memperlihatkan bahwa paradigma pemerintah dalam menangani krisis iklim masih menggunakan paradigma lama.
Paradigma lama itu adalah memisahkan kegiatan mitigasi dan adaptasi. Padahal keduanya bisa dibedakan, tapi tidak bisa dipisahkan.
Prioritas mengembangkan geothermal, biofuel dan energi terbarukan skala besar lainnya menunjukan pemerintah tidak memedulikan bahwa upaya mitigasi dengan pengembangan energi terbarukan skala besar itu dapat menurunkan kapasitas masyarakat lokal dalam beradaptasi dengan krisis iklim.
Celakanya pemerintah masih memegang teguh paradigma lama yang sudah tidak adil sejak dari pikiran itu.
Bukan hanya itu, pengembangan energi terbarukan skala besar juga rentan dengan konflik kepentingan, baik dengan perusahaan multi-nasional yang berasal dari negara donor JETP maupun konflik kepentingan dengan elite ekonomi-politik yang kebetulan dekat dengan kekuasaan.
Penelitian Indonesia Corruption Watch (ICW) berjudul, "Siapa yang akan Diuntungkan? Bisnis Ekstraktif dan Energi Terbarukan di Balik Prabowo-Gibran', mengungkapkan bahwa elite ekonomi yang dekat dengan kekuasaan, kini mulai berpindah ke energi terbarukan. Padahal sebelumnya mereka adalah pengusaha di sektor energi fosil.
Dokumen draft final SNDC Pemerintah Indonesia bukan hanya mempertahankan paradigma lama, namun juga hanya akan melanjutkan kebijakan Presiden Jokowi yang tak begitu serius dalam melakukan transisi energi.
Ketidakseriusan Pemerintahan Jokowi itu nampak dari munculnya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik.
Meskipun judulnya terkait energi terbarukan, perpres itu sejatinya adalah payung hukum bagi kelanjutan bisnis Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara di kawasan industri.
Ketidakseriusan dalam melakukan transisi energi juga tercermin dari munculnya Perpres Nomor 14 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Penangkapan dan Penyimpanan Karbon.
Perpres ini akan menjadi payung hukum bagi kegiatan Carbon Capture Storage (CCS) di Indonesia.
Padahal, bila ditelisik lebih jauh penggunaan teknologi CCS ini, selain mahal, juga hanya akan memperpanjang usia pemakaian energi fosil. Dampaknya, semakin lama energi fosil tetap digunakan semakin sulit pula pengembangan energi terbarukan.
Puncaknya, Presiden Jokowi melakukan bagi-bagi konsesi tambang batu bara untuk ormas keagamaan.
Padahal, dengan masuknya ormas keagamaan dalam bisnis energi kotor akan menghalangi desakan publik agar pemerintah lebih memperkuat komitmennya terhadap penanganan krisis iklim.
Bagaimana tidak, saat ini bila publik harus memberikan tekanan yang keras kepada pemerintah terkait persoalan iklim dan transisi energi, mereka juga harus berhadapan dengan Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah.
Kedua ormas Islam terbesar di Indonesia itu kini juga pemain bisnis energi batu bara.
Para pemain bisnis batu bara tentu tidak ingin transisi energi di Indonesia berjalan mulus, karena transisi energi hanya akan berpotensi menganggu bisnis mereka.
Celakanya, kebijakan pemerintah baru di bawah Prabowo Subianto, hampir dipastikan akan terus melanjutkan kebijakan pemerintahan Jokowi yang tidak memiliki komitmen kuat untuk meninggalkan penggunaan energi fosil.
Prabowo di berbagai kesempatan selalu menegaskan bahwa ia akan melanjutkan kebijakan Presiden Jokowi, tak terkecuali kebijakan di sektor energi yang pro-energi batu bara.
Kebijakan akan terus mempertahankan kebijakan proenergi fosil juga terlihat dari rekam jejak Prabowo.
Menurut data yang dipublikasikan di website Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), Prabowo memiliki rekam jejak yang sangat dekat dengan bisnis batu bara.
Bukan hanya itu, di berbagai media massa arus utama juga diberitakan bahwa dalam Pilpres lalu, Prabowo juga mendapat dukungan dari para pemilik modal di sektor energi fosil, termasuk batu bara.
Kenyataan pahit tentang SNDC ini harus pula menjadi perhatian, bukan hanya masyarakat Indonesia, tetapi juga dunia.
Masyarakat di dunia harus mendesak Pemerintah Indonesia, bukan hanya sekadar lebih ambisus dalam mengurangi emisi GRK, namun juga mengadopsi nilai-nilai keadilan di dalamnya.
SNDC Indonesia akan terjebak dengan angka-angka tanpa makna bila tidak mengakomodasi unsur keadilan di dalamnya, baik keadilan antara negara-negara Utara dan Selatan maupun keadilan di dalam negeri Indonesia sendiri.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya