Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pemerintah Perlu Dorong Bahan Lokal untuk Ketahanan Pangan

Kompas.com, 28 September 2024, 19:09 WIB
Faqihah Muharroroh Itsnaini,
Bambang P. Jatmiko

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Badan Pangan Nasional (Bapanas) menekankan pentingnya mendorong pangan lokal sesuai yang dimiliki masing-masing daerah, untuk menggerakkan ekonomi lokal dan sebagai solusi ketahanan pangan.

Direktur Penganekaragaman dan Konsumsi Pangan Bapanas, Rinna Syawal mengatakan, salah satu strategi suatu negara bisa mandiri pangan adalah menganekaragamkan konsumsi pangan dan produksinya.

“Diversifikasi pangan itu adalah salah satu strategi untuk bagaimana kita bisa mencapai kemandirian pangan,” ujar Rinna usai sesi diskusi bertajuk "Di Balik Dapur Makan Siang Bergizi: Dari Ladang Hingga ke Piring", di JCC Senayan, Jakarta, Sabtu (28/9/2024).

Baca juga: Integrasi AI ke Sektor Pertanian Diproyeksikan Bisa Bantu Ketahanan Pangan

Ia menjelaskan, Program Makan Siang Bergizi yang akan dibawa pemerintahan baru, tidak bisa menyeragamkan semua menu di semua daerah.

Menurutnya, jika ingin mengangkat ekonomi lokal, menu akan berbeda sesuai dengan potensi yang tersedia di daerah masing-masing.

Penuhi B2SA

Hal terpenting, kata dia, pilihan menu tersebut memenuhi prinsip gizi seimbang (Beragam, Bergizi Seimbang, dan Aman atau B2SA).

“Jadi, B2SA atau beragam, bergizi seimbang, dan aman itu akan berbeda antara isi piring B2SA di Papua, dengan isi piring B2SA di Jakarta, dengan isi piring B2SA di Aceh. Karena akan disesuaikan dengan potensi pangan lokal,” terangnya.

Ia menilai, semua daerah memiliki potensi pangan lokal yang bisa dimanfaatkan, tanpa harus mengambil sumber dari luar.

Baca juga: Kisah Seni Tani, Penerima SATU Indonesia Awards 2021 Ubah Lahan Tidur Jadi Kebun Pangan

“Sebenarnya di beberapa daerah memiliki sumber pangan yang berbeda, yang secara gizi juga memenuhi untuk kebutuhan masyarakat. Misalnya ketika sagu menjadi sumber karbohidrat di daerah timur, menunya itu menggunakan sagu, nanti akan diimbangi dengan proteinnya,” papar dia.

Senada, Inisiator Nusantara Food Biodiversity sekaligus jurnalis, Ahmad Arif, mengatakan bahwa Indonesia punya sumber pangan dan makanan yang beragam dengan cara tumbuh yang berbeda-beda.

"Secara kultural dan historis, pangan di Indonesia itu beragam sekali. Namun, masyarakat di berbagai penjuru Nusantara malah dipaksakan untuk mengonsumsi pangan seragam," papar Arif.

Ia menjelaskan, semakin jauh dari pusat sentral, semakin besar biaya yang harus dikeluarkan oleh masyarakat daerah.

Oleh karena itu, prinsip desentralisasi mendorong pemulihan pangan berdasarkan kondisi yang berbeda-beda di setiap daerah.

Baca juga: IIRC: Ketahanan Pangan Hadapi Tantangan, Mulai Perubahan Iklim hingga Geopolitik

“Jika daerah tersebut kaya dengan pangan ikan, masyarakatnya jangan dipaksakan untuk konsumsi daging ayam," tambahnya.

Ia juga menyoroti bahwa Program Makan Siang Bergizi yang direncanakan Pemerintahan baru perlu menghindari tren sentralisasi pangan berwujud menu instan.

Ia mengatakan, desentralisasi menu yang bersumber pada pangan hasil olahan petani lokal dapat menjadi jawaban dalam upaya negara untuk meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat daerah.

“Salah satu cara untuk mendukung pemberdayaan masyarakat daerah adalah dengan mengalokasikan anggaran pemerintah daerah untuk lebih menyerap pangan lokal, seperti di Brazil yang menggunakan 30 persen anggarannya untuk membeli pangan dari petani lokal," pungkasnya.

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
Tingkatkan Produktivitas Lahan, IPB Latih Petani Kuasai Teknik Agroforestri
Tingkatkan Produktivitas Lahan, IPB Latih Petani Kuasai Teknik Agroforestri
Pemerintah
Desa Utak Atik di Serangan Bali Hadirkan Inovasi Lampu Nelayan hingga Teknologi Hijau
Desa Utak Atik di Serangan Bali Hadirkan Inovasi Lampu Nelayan hingga Teknologi Hijau
LSM/Figur
Pasca-Siklon Senyar, Ilmuwan Khawatir Populasi Orangutan Tapanuli Makin Terancam
Pasca-Siklon Senyar, Ilmuwan Khawatir Populasi Orangutan Tapanuli Makin Terancam
Pemerintah
Adaptasi Perubahan Iklim, Studi Temukan Beruang Kutub Kembangkan DNA Unik
Adaptasi Perubahan Iklim, Studi Temukan Beruang Kutub Kembangkan DNA Unik
Pemerintah
Permintaan Meningkat Tajam, PBB Peringatkan Potensi Krisis Air
Permintaan Meningkat Tajam, PBB Peringatkan Potensi Krisis Air
Pemerintah
Bibit Siklon Tropis Terpantau, Hujan Lebat Diprediksi Landa Sejumlah Wilayah
Bibit Siklon Tropis Terpantau, Hujan Lebat Diprediksi Landa Sejumlah Wilayah
Pemerintah
Masyarakat Adat Terdampak Ekspansi Sawit, Sulit Jalankan Tradisi hingga Alami Kekerasan
Masyarakat Adat Terdampak Ekspansi Sawit, Sulit Jalankan Tradisi hingga Alami Kekerasan
LSM/Figur
Limbah Cair Sawit dari RI Diterima sebagai Bahan Bakar Pesawat Berkelanjutan
Limbah Cair Sawit dari RI Diterima sebagai Bahan Bakar Pesawat Berkelanjutan
LSM/Figur
BRIN Catat Level Keasaman Laut Paparan Sunda 2 Kali Lebih Cepat
BRIN Catat Level Keasaman Laut Paparan Sunda 2 Kali Lebih Cepat
Pemerintah
Belajar dari Sulawesi Tengah, Membaca Peran Perempuan Ketika Bencana Menguji
Belajar dari Sulawesi Tengah, Membaca Peran Perempuan Ketika Bencana Menguji
LSM/Figur
ILO Dorong Literasi Keuangan Untuk Perkuat UMKM dan Pekerja Informal Indonesia
ILO Dorong Literasi Keuangan Untuk Perkuat UMKM dan Pekerja Informal Indonesia
Pemerintah
ULM dan Unmul Berkolaborasi Berdayakan Warga Desa Penggalaman lewat Program Kosabangsa
ULM dan Unmul Berkolaborasi Berdayakan Warga Desa Penggalaman lewat Program Kosabangsa
Pemerintah
PLTS 1 MW per Desa Bisa Buka Akses Energi Murah, tapi Berpotensi Terganjal Dana
PLTS 1 MW per Desa Bisa Buka Akses Energi Murah, tapi Berpotensi Terganjal Dana
LSM/Figur
Bulu Babi di Spanyol Terancam Punah akibat Penyakit Misterius
Bulu Babi di Spanyol Terancam Punah akibat Penyakit Misterius
LSM/Figur
Studi Iklim 2024 Direvisi, tapi Prediksi Dampak Ekonomi Global Tetap Parah
Studi Iklim 2024 Direvisi, tapi Prediksi Dampak Ekonomi Global Tetap Parah
LSM/Figur
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau