KOMPAS.com - Perempuan yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) membutuhkan pendampingan yang menyeluruh.
Pendampingan yang menyeluruh tersebut mencakup pendampingan yang memutus ketergantungan ekonomi, sosial, maupun psikis korban pada pelaku, ketersediaan layanan pelindungan, dan daya dukung psikososial.
Hal itu disampaikan, Anggota Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Dewi Kanti dalam sebuah webinar, Senin (23/12/2024).
Baca juga: Faktor Ekonomi Jadi Penyebab Kekerasan, Perempuan Wajib Berdaya
Untuk diketahui, salah satu target dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGS) mengamanatkan penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap kaum perempuan di ruang publik dan pribadi.
Target tersebut tertuang dalam Tujuan Nomor 5 SDGs yakni Kesetaraan Gender.
Dewi menuturkan, pendampingan yang menyeluruh dibutuhkan agar korban KDRT dapat mengakses keadilan dan pemulihan.
Di sisi lain, dia mengakui sejauh ini masih ada tantangan dalam penanganan kasus KDRT, di antaranya kapasitas aparat penegak hukum dan penyikapan masyarakat.
Baca juga: 7,6 Juta Anak Indonesia Alami Kekerasan Sepanjang 2023
"Ketersediaan dan perspektif aparat, ketersediaan sarana, prasarana, dan anggaran, dan budaya masyarakat yang menstigma korban," kata Dewi, sebagaimana dilansir Antara.
Kemudian adanya tafsir yang beragam atas pasal dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT).
Perbedaan tafsir tersebut mengakibatkan laporan ditolak, tertunda, atau berlarut-larut penyelesaiannya, sehingga mengakibatkan pemulihan korban tidak dapat dipenuhi.
Berdasarkan catatan Komnas Perempuan, KDRT menempati urutan teratas kekerasan terhadap perempuan, dengan korban terbanyak adalah istri.
Baca juga: Perubahan Iklim Tingkatkan Kekerasan terhadap Perempuan
"Dalam hitungan kami, setiap jamnya sekurang-kurangnya ada tiga perempuan sebagai istri yang menjadi korban kekerasan dari pasangannya," kata Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani.
Di satu sisi, keberadaan UU Nomor 23 Tahun 2004 telah berusia 20 tahun sejak diundangkan.
"Saat ini kita sudah menginjak 20 tahun UU PKDRT mengamanatkan pemidanaan pelaku, juga pemulihan dan jaminan tidak berulang," kata Andy.
Baca juga: Masuki Era Digital, Kekerasan Gender Berbasis Online Makin Mengancam
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya