KOMPAS.com - Center of Economic and Law Studies (Celios) menyebutkan, bauran energi baru terbarukan (EBT) Indonesia masih rendah pada 2024.
Realisasi transisi energi masih terbilang lambat, kendati potensi energi terbarukannya sangat besar. Direktur Celios Bhima Yudhistira mengungkap, saat ini bauran energi terbarukan baru mencapai sekitar 13 persen.
Padahal, pemerintah menargetkan bauran energi nasional sebesar 19,49 persen pada 2024 dan 23 persen di 2025.
“Artinya memang masih jauh sekali dari target untuk mencapai net zero emission 2060. Karena minimum harus bisa tercapai 30 persen paling tidak pada 2030,” kata Bhima saat dihubungi, Selasa (24/12/2024).
Dia mencatat, regulasi yang belum memadai menyebabkan lambannya percepatan transisi energi.
Skema power wheeling, yang memungkinkan distribusi listrik dari pembangkit energi terbarukan ke jaringan, belum disahkan secara resmi.
Selain itu, berbagai kebijakan soal EBT juga belum memiliki payung hukum yang kuat.
“Hal ini menghalangi banyak investasi masuk ke sektor energi terbarukan, terutama di bidang transmisi dan pembangkit,” jelas dia.
Baca juga: Kapasitas PLTU Captive RI Diprediksi Salip Pembangkit Batu Bara Australia
Hambatan transisi energi lainnya ialah banyaknya pendaanaan internasional yang tak kunjung selesai, termasuk Just Energy Transition Partnership (JETP).
JETP menjanjikan investasi hingga Rp 340 triliun untuk transisi energi di Indonesia. Bhima menyebut, proyek yang disepakati antara lain pensiun dini PLTU Batu Bara Cirebon I serta Pelabuhan Ratu dan masih terkendala negosiasi.
Begitu pula dengan pembangkit energi terbarukan yang belum banyak disorot dari sisi pembiayaan maupun kerja sama internasional.
“Faktor krusialnya apa salah satunya? Karena masing-masing negara yang menjadi konsorsium JETP, memiliki kerja sama yang sifatnya bilateral dibandingkan multilateral,” ucap Bhima.
“Jadi dibandingkan menggunakan platform JETP, mereka menggunakan platform pendekatan government to government, atau langsung business to business tanpa melalui skema JETP,” imbuh dia.
Solusi Palsu
Bhima mengatakan, pengembangan transisi energi justru menemui jalan yang salah.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya