JAKARTA, KOMPAS.com - Rektor Institut Pertanian Bogor (IPB), Arif Satria, mengungkapkan, masih ada kesenjangan pendanaan untuk mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sutainable Development Goals (SDGs).
Sejauh ini, kata dia, sumber pembiayaan berasal dari perpajakan atau mekanisme pembiayaan inovatif seperti lembaga keuangan internasional dan sektor swasta. Menurut Arif, kesenjangan tersebut dapat ditutup dengan melibatkan kontribusi dari masyarakat.
"Saya juga rasa kita memerlukan kontribusi filantropi masyarakat sipil, filantropi global seperti crowdfunding, kontribusi sukarela sebagai bentuk pembiayaan campuran," ujar Arif pada SDGs Lecture, Jumat (17/1/2025).
"Jadi kita perlu mendorong individu dan perusahaan untuk berkontribusi pada inisiatif yang berfokus pada SDGs," imbuhnya dalam acara yang digelar Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) tersebut.
Ia mengusulkan agar pemerintah memanfaatkan teknologi artificial intelligence (AI) untuk melacak dan mengoptimalkan aliran pembiayaan SDGs. AI juga bisa dipakai mengidentifikasi kesenjangan pendanaan, memaksimalkan alokasi sumber daya, serta mengukur dampak.
Arif mengungkapkan, untuk mempercepat transisi energi dan adaptasi perubahan iklim, misalnya, pemerintah perlu melebarkan investasi pada energi terbarukan dengan kebijakan pembiayaan yang inklusif.
Sementara terkait ketahanan pangan, Arif menyebut inovasi pertanian cerdas dan regeneratif, diversifikasi pangan, dan dukungan petani kecil harus ditingkatkan.
Baca juga: Swasembada Energi Bukan Mimpi (4)
"Saya rasa ini sangat menantang bagi kita, karena ada perbedaan karakteristik pertanian di Indonesia dan Amerika Serikat. Petani di Amerika Serikat sebagian besar didominasi oleh petani 3.0 jika merujuk pada istilah teknologi digital. Di Indonesia kita memiliki berbagai kelas petani 3.0, petani 2.0, petani 1.0, dan mungkin juga petani 0.0," ungkap Arif.
Dia menyatakan, universitas turut berperan dalam memperkuat inovasi berkelanjutan sesuai target SDGs. IPB sendiri telah menjalankan kewirausahaan sosial serta technopreneurship.
Technopreneurship dilakukan dengan memanfaatkan inovasi untuk usaha bisnis, sedangkan kewirausahaan sosial memanfaatkan inovasi pada usaha sosial.
"Kami memproduksi banyak sekali varietas, salah satunya padi. Padi IPB 3S sudah didistribusikan ke 26 provinsi di Indonesia dan kami memiliki varietas baru dengan IPB 9G yang produktivitasnya hampir 12 ton per hektare," ucap Arif.
"Ini sangat penting untuk menunjukkan bahwa inovasi kami tahan terhadap penyakit busuk dan aman terhadap penggunaan pupuk dan air hingga 30 persen. Ini adalah inovasi kami untuk mengatasi masalah keberlanjutan," tambah dia.
Di samping itu, kemitraan sosial dianggap berperan penting untuk mendorong mahasiswa berinovasi, memberdayakan petani, serta membuka akses pasar agar beberapa produk dapat diekspor.
“Ini berarti bahwa petani ketika mendapatkan pendidikan yang tepat, program pemberdayaan yang tepat, mereka bisa menghasilkan produk yang lebih berkualitas. Saya rasa ini bisa memenuhi permintaan global untuk pasar modern,” ungkap dia.
Baca juga: BRICS Jadi Jalur Negosiasi Tambahan Transisi Energi RI
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya