KOMPAS.com - Emisi karbon yang berasal dari teknologi kecerdasan buatan (AI) mencapai tingkat yang mengkhawatirkan.
Studi komprehensif dari KnownHost mengungkap jejak karbon ChatGPT saja lebih dari 260.930 kg CO2 setiap bulan.
Dampak lingkungan ChatGPT pun disebut menyaingi perjalanan udara internasional, setara dengan 260 penerbangan antara Jakarta ke Dubai (sekitar 8,5 jam)
Hal tersebut menimbulkan pertanyaan mendesak tentang keberlanjutan dari teknologi kecerdasan buatan.
Pengungkapan ini penting karena industri teknologi menghadapi tekanan yang meningkat untuk mengatasi jejak karbonnya yang terus meningkat.
Sementara itu menurut studi yang sama, platform AI lainnya, meski menunjukkan total emisi bulanan yang lebih rendah, sebenarnya menghasilkan lebih banyak CO2 per interaksi.
Baca juga: Korporasi Targetkan Ulang Sasaran Iklim karena AI
Dikutip dari Sustainability News, Kamis (30/1/2025), platform AI Rytr misalnya, menghasilkan 10,1 gram CO2 per tampilan halaman.
Sedangkan Spellbook menghasilkan 6,5 gram, jauh lebih tinggi daripada dampak per tampilan ChatGPT yang menghasilkan 1,59 gram CO2.
Konsumsi Energi
Di balik emisi karbon AI terdapat infrastruktur pusat data yang makin haus energi.
Laporan Penggunaan Energi Pusat Data Amerika Serikat 2024 dari Berkeley Lab menyajikan tren yang mengkhawatirkan.
Konsumsi energi pusat data meningkat lebih dari dua kali lipat antara tahun 2017 dan 2023.
Lonjakan penggunaan daya berasal dari kebutuhan konstan untuk mempertahankan kondisi operasi yang optimal, termasuk sistem pendingin dan operasi server sepanjang waktu.
Laporan Badan Energi Internasional tahun 2024 juga memberikan gambaran yang lebih mengkhawatirkan untuk masa depan.
Teknologi AI yang maju bersama dengan operasi mata uang kripto dapat menggandakan konsumsi energi pada tahun 2026, dengan pusat data menyumbang sepertiga dari peningkatan ini.
Sektor ini pun menghadapi tugas penting untuk menyeimbangkan kemajuan teknologi dengan tanggung jawab lingkungan.
Tanpa intervensi yang signifikan, dampak lingkungan hanya akan meningkat seiring dengan meluasnya teknologi tersebut.
Baca juga: Bagaimana AI Membantu Manajer ESG Mendorong Keberlanjutan?
Untung saja sektor teknologi mulai menanggapi tantangan tersebut.
“Seiring berlanjutnya inovasi hingga tahun 2025, menyeimbangkan keberlanjutan lingkungan harus menjadi fokus utama bagi perusahaan teknologi dan pengguna perangkat mereka,” ungkap Daniel Pearson, CEO KnownHost.
Beberapa inisiatif pun sudah diupayakan seperti misalnya optimalisasi kode untuk mengurangi pemrosesan yang tidak perlu, metode pendinginan canggih, termasuk sistem pendinginan cair, penerapan desain aliran udara yang lebih efisien, dan juga peningkatan adopsi sumber energi terbarukan.
Keberhasilan memerangi emisi AI juga memerlukan upaya terkoordinasi dari perusahaan teknologi dan pembuat kebijakan, serta tekanan dari pengguna untuk menerapkan praktik dan teknologi yang lebih berkelanjutan.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya