KOMPAS.com - Pertemuan Trump dan Zelensky, Presiden Ukraina, berubah menjadi adu mulut dan kegaduhan global yang dibicarakan media hingga warganet.
Usai Zelensky mengungkapkan ketidaksetujuan dengan Wakil Presiden AS, JD Vance, terkait kegagalan AS memberikan dukungan kala Rusia menginvasi Ukraina, Trump marah.
"Anda tidak pada posisi yang baik. Anda tidak punya kartunya sekarang," kata Trump seperti dikutip Reuters, Sabtu (1/3/2025).
Trump menilai Zelensky tak berterima kasih. "Anda harus lebih berterima kasih sebab Anda tak punya kartunya. Dengan kami, Anda punya. Tanpa kami, Anda tidak punya," katanya.
Perang mulut tersebut merusak agenda inti pertemuan yang sebenarnya terkait dengan deal pengelolaan mineral kritis yang ada di Ukraina.
Dan, perhatian kita pada adu mulut tersebut, meskipun wajar, sedikit mengabaikan inti dari masalah penting terkait politik mineral dan keberlanjutan.
Ukraina dan Cadangan Mineralnya
Ukraina memiliki peran penting dalam misi keberlanjutan, terutama terkait transisi energi dari fosil ke terbarukan.
Ukraina memiliki potensi besar sebagai pemasok global bahan baku strategis untuk energi hijau, termasuk lithium, titanium, dan grafit yang digunakan dalam baterai kendaraan listrik serta turbin angin.
Negara ini menguasai sekitar 5 persen cadangan mineral dunia, termasuk cadangan titanium terbesar di Eropa. Nilai kekayaan mineralnya diperkirakan mencapai 10-12 triliun dollar AS, meskipun sebagian besar belum dieksplorasi.
Namun, sekitar 40 persen dari cadangan logam dan mineral Ukraina berada di wilayah yang saat ini dikendalikan Rusia.
Selain itu, banyak data geologi yang masih mengandalkan peta era Soviet berusia 30-60 tahun, sehingga kelayakan ekonomi eksplorasi masih dipertanyakan.
Baca juga: Trump Cabut Hibah Penelitian yang Mengandung Kata Iklim
Proses dari eksplorasi hingga produksi bisa memakan waktu hingga 20 tahun, membuat keuntungan jangka pendek diragukan.
Ukraina dan Persaingan AS-China dalam Rantai Pasokan Energi Hijau
Kesepakatan antara AS dan Ukraina mencerminkan strategi AS untuk mengurangi ketergantungan pada China, yang saat ini mendominasi industri mineral kritis global.
China telah lama menguasai produksi dan pemurnian mineral yang diperlukan untuk transisi energi hijau.
Sebelum konflik Ukraina, China sudah menunjukkan minat terhadap sumber daya negara ini. Kini, Washington berusaha mengamankan akses sebelum Beijing atau Eropa melangkah lebih jauh.
Ukraina sendiri punya kepentingan. Selain ekonomi, tentu saja, juga ada kepentingan keamanan. Apalagi, sekarang Ukraina tengah konflik dengan Rusia.
Oleh karena itu, munculah keinginan membuat kesepakatan antara AS dan Ukraina.
Diterangkan oleh Gracelin Baskaran dan Meredith Schwartz darii Critcal Minerals Security Program, Center for Srategic and International Studies (CSIS) pada Kamis (27/2/2025), dalam proposal awal, Ukraina diminta menggunakan sumber daya mineralnya untuk membayar kembali Amerika Serikat sebesar 500 miliar dollar AS atas bantuan militer yang telah diberikan sebelumnya.
Namun, kerangka perjanjian yang akhirnya disepakati tidak menetapkan hak bagi AS atas pendapatan senilai 500 miliar dollar AS dari mineral Ukraina, juga tidak mencakup jaminan keamanan bagi negara tersebut. Sebaliknya, perjanjian ini berupa dana rekonstruksi investasi dengan kepemilikan bersama antara AS dan Ukraina.
Ukraina akan menyumbangkan 50 persen dari seluruh pendapatan yang diperoleh dari monetisasi aset sumber daya alam milik pemerintah ke dalam dana tersebut.
Aset ini mencakup cadangan mineral, minyak, gas alam, serta infrastruktur terkait lainnya.
Namun, sumber daya yang sudah menjadi pendapatan utama Ukraina — seperti operasi Naftogaz dan Ukrnafta, dua perusahaan minyak dan gas terbesar di Ukraina — tidak termasuk dalam perjanjian ini.
Artinya, profitabilitas dana ini sepenuhnya bergantung pada keberhasilan investasi baru dalam eksploitasi sumber daya alam Ukraina.
Konsekuensi Politik, Ekonomi, dan Keberlanjutan
Bagi Ukraina, kesepakatan ini dapat mendatangkan investasi dan pemetaan sumber daya yang lebih baik.
Namun, risiko bagi negara ini adalah kehilangan kontrol atas kekayaan alamnya, terutama jika kesepakatan tidak dirancang untuk memberi manfaat jangka panjang bagi rakyatnya.
Bagi AS, perjanjian ini menunjukkan pendekatan strategis dalam mengamankan pasokan mineral untuk energi hijau, tetapi juga berisiko dianggap sebagai eksploitasi sumber daya negara lain.
Lalu, bagaimana nasib perjanjian setelah Trump dan Zelensky perang mulut?
Trump, seperti diwartakan Reuters, Sabtu, menyatakan bahwa dirinya saat ini tak tertarik membahas perjanjian ini lagi.
Sementara, pejabat Gedung Putih mengatakan bahwa delegasi Zelensky mulai memohon untuk penandatanganan persetujuan segera.
Di negaranya, Zelensky dipuji karena punya keteguhan sikap. Pimpinan negara Eropa, Kanada, dan Australia juga menyatakan dukungan pada ukraina.
Baca juga: Peran AS dalam Transisi Energi Dunia Tak Signifikan, RI Jangan Gamang
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya