KOMPAS.com - Mundurnya Amerika Serikat (AS) dari Perjanjian Paris dan upaya Presiden AS Donald Trump melawan arus transisi energi global seharusnya tak membuat Indonesia gamang.
Managing Director Energy Shift Putra Adhiguna mengatakan, peran AS dalam transisi energi global tidak signifikan.
Pasalnya, 80 persen teknologi hijau di dunia bukan disumbang oleh AS. Apa pun kebijakan presiden AS saat ini di dalam negeri, tidak berpengaruh ke dunia internasional.
Baca juga: Jadi Tenaga Baru untuk Transisi Energi, Danantara Harus Dikelola Secara Stabil
Oleh karena itu, Putra menuturkan, dengan ataupun tanpa AS, dunia tetap bergerak ke transisi hijau. Dan Indonesia tak boleh ketinggalan.
"Memang betul mereka (AS) punya banyak pendanaan, tapi pendanaan dari sumber lain pun cukup banyak," kata Putra saat dihubungi Kompas.com, Kamis (27/2/2025).
Dia mengambil contoh di China yang bergerak cepat mengadopsi energi terbarukan, terlepas dari aksi-aksi yang dilakukan AS.
Bahkan, lanjut Putra, negara-negara Timur Tengah yang kaya minyak seperti Uni Emirat Arab (UEA) juga bergerak untuk menggeser investasi mereka ke energi yang lebih hijau.
Baca juga: Danantara Bisa Percepat Transisi Energi dengan Duitnya, Asal...
"Ini menunjukkan bahwa transisi itu tengah terjadi dan pendananya pun tengah bergerak. Jadi Indonesia jangan sampai ketinggalan peluangannya," papar Putra.
Diberitakan sebelumnya, di Inggris, sektor hijau tumbuh tiga kali lipat dari laju ekonomi negara. Sektor tersebut menyediakan lapangan kerja bergaji tinggi dan meningkatkan ketahanan energi.
Menurut analisis dari Confederation of British Industry (CBI), sektor hijau atau emisi nol bersih tumbuh sebesar 10 persen pada 2024 dan menghasilkan 83 miliar poundsterling dalam nilai tambah bruto atau GVA.
Bisnis-bisnis emisi nol bersih mulai dari energi terbarukan hingga keuangan hijau mempekerjakan hampir satu juta pekerja penuh waktu.
Laporan dari CBI tersebut ditugaskan oleh Unit Intelijen Energi dan Iklim untuk menganalisis pertumbuhan dari berbagai bidang bisnis hijau termasuk energi terbarukan, kendaraan listrik, heat pump, penyimpanan energi, keuangan hijau, serta pengelolaan dan daur ulang limbah.
Baca juga: Menakar Potensi Danantara untuk Dukung Transisi Energi
Rata-rata, pekerja dalam bisnis emisi nol bersih mendapat gaji 43.000 poundsterling atau sekitar Rp 887 juta dalam setahun, lebih tinggi 5.600 poundsterling atau sekitar Rp 115 juta dari rata-rata upah nasional.
Di samping itu, pertumbuhan ekonomi dari binsis hijau berjalan beriringan dengan aksi iklim, sebagaimana dilansir The Guardian, Senin (24/2/2025).
Menteri Keuangan Inggris Rachel Reeves sempat dikritik pada Januari karena menyatakan pertumbuhan ekonomi lebih penting daripada emisi nol bersih.
Akan tetapi, baru-baru ini dia menyatakan, tidak ada yang perlu dikorbankan antara pertumbuhan ekonomi dan emisi nol bersih.
"Justru sebaliknya. Emisi nol bersih adalah peluang industri abad ke-21," kata Reeves.
Baca juga: Bauran Energi Terbarukan Masih Rendah, ASEAN Perlu Perkuat Transisi
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya