JAKARTA, KOMPAS.com - Juru Kampanye Forest Watch Indonesia (FWI), Anggi Putra Prayoga, menilai pemerintah perlu melakukan Revisi Undang-Undang (RUU) Kehutanan untuk menegakkan hak masyarakat adat.
UU Kehutanan saat ini masih mewarisi sistem kolonialisme Belanda yang memberikan klaim berlebihan kepada negara atas kawasan hutan. Menurut dia, hukum yang ada memberikan keleluasaan bagi negara terhadap tanah yang sudah dikelola oleh masyarakat terutama masyarakat adat.
"Ketika masyarakat tidak bisa membuktikan bukti dari kepemilikan tanah, maka itu diklaim sebagai milik negara dan an dijadikan oleh Undang-Undang Kehutanan ini sebagai kawasan hutan negara," ujar Anggi saat dihubungi, Jumat (21/3/2025).
Dia berpandangan bahwa salah satu poin penting yang perlu direvisi pada UU Kehutanan ialah pengakuan keberadaan dan hak masyarakat adat atas tanah mereka yakni mengelola hutan adat.
Pasalnya, masyarakat adat, komunitas lokal, dan tradisional yang berada di dalam maupun sekitar hutan dianggap sebagai kelompok yang paling dirugikan.
"Klaim negara atas kawasan hutan itu over. Begini prosesnya, ketika masyarakat adat mengusulkan untuk dijadikan hutan adat istilahnya negara mengembalikan," ungkap Anggi.
"Berarti kan negara overclaim setelah mengambil wilayah adat, kemudian diberikan lagi kepada masyarakat adat," imbuh dia.
Baca juga: Masyarakat Sipil Dorong RUU Kehutanan Berpihak Perlindungan Rimba dan Masyarakat Adat
Karenanya, dia menyatakan bahwa RUU Kehutanan harus segara dibahas dan disahkan oleh DPR.
"Agar tidak ada lagi overclaim kawasan untuk dijadikan kawasan hutan negara," tutur Anggi.
Di sisi lain, dia turut menyoroti lambannya pembahasan RUU Kehutanan. Kendati putusan Mahkamah Konstitusi (MK), seperti putusan MK Nomor 34 dan Nomor 35 yang menyatakan perlunya perubahan beberapa pasal dalam UU Kehutanan.
Putusan pertama terkait hak konstitusional orang asli Papua dalam Pilkada serentak 2017, dan putusan kedua terkait hak masyarakat adat atas ruang lingkup hidup.
"Yang paling utama (revisi) tentang masyarakat adat. Bahwa di itu harus menghormati yang namanya keberadaan dan eksistensi masyarakat adat. Kemudian juga soal hak-hak ke masyarakat adat yang harus dihormati," ucap Anggi.
Adapun revisi UU Kehutanan telah dinantikan publik sejak 15 tahun ke belakang. Anggi mengatakan, pemerintah sejauh ini belum melibatkan masyarakat untuk membahas perubahan UU itu.
"Kami ingin ini tidak dibahas secara sembunyi-sembunyi, dilakukan secara prosedural dan terbuka kepada publik. Sehingga lintas sektoral bisa mengkritik kualitas dari Undang-Undang Kehutanan ini," sebut dia.
Baca juga: RUU Masyarakat Adat: Janji Politik atau Ilusi Hukum?
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya