Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menteri LH: Banyak Produsen AMDK Pakai Air Tanah, Konservasi Cuma Mantra

Kompas.com, 29 Agustus 2025, 18:16 WIB
Manda Firmansyah,
Yunanto Wiji Utomo

Tim Redaksi


Jakarta, Kompas.com - Menteri Lingkungan Hidup (LH) /Kepala Pengendalian Lingkungan Hidup, Hanif Faisol Nurofiq menyebut, belum ada satu pun perusahaan air minum dalam kemasan di Indonesia yang menggunakan air permukaan secara berkelanjutan.

Ia mengkritik perusahaan-perusahaan air minum dalam kemasan yang tidak mempedulikan upaya konservasi jangka panjang. Padahal, konservasi sejatinya merupakan investasi jangka panjang.

"Tanpa kita memperhatikan konservasi jangka panjang, suatu ketika pasokan air kita akan terbatas. Ini yang belum kami lakukan," ujar Hanif di Jakarta, Kamis (28/8/2025).

Menurut Hanif, banyak merek air minum dalam kemasan yang beredar di Indonesia, masih menggunakan air tanah, meski mengklaim produknya berasal dari 'air pegunungan'.

Baca juga: Kolaborasi Tiga Kampus Ini Hasilkan Teknologi Filter Air Berbasis Nanomaterial

"Air minum pegunungan, saya enggak usah sebut mereknya. Namanya air minum pegunungan. Tetapi, yang digunakan air tanah. Jadi, jangan terpucat, terpedaya oleh minuman-minuman yang ada di atas meja itu," tutur Hanif.

Ia menilai, eksploitasi air tanah secara berlebihan oleh perusahan air minum dalam kemasan juga merupakan praktik yang tidak berkelanjutan. "Perusahaan air minum internasional di Indonesia itu semua juga masih menggunakan air tanah," ucapnya.

Selain perusahaan air minum dalam kemasan, kata dia, eksploitasi air tanah secara berlebihan untuk dikomersialkan juga banyak dilakukan perusahaan-perusahaan di Jakarta.

"Apa yang kemudian digembar-gemborkan bahwa ini enggak (eksploitasi air tanah). (Sebenarnya) Sama juga di Jakarta, masih mengeksploitasi tanah sebesar-besarnya untuk dikomersialkan," ujar Hanif.

Di sisi lain, pasokan air tanah sangat sulit untuk dipulihkan kembali. Bahkan, membutuhkan waktu ratusan tahun untuk memulihkan pasokan air tanah di Jakarta.

"Orang Geologi pasti paham, air tanah tidak mudah kembali. Bahkan, boleh kita katakan tidak kembali. Seumur kita, kita mati 50 kali, juga air tanahnya belum sampai Jakarta," tutur Hanif.

Ia menyesalkan, pentingnya konservasi sebagai investasi jangka panjang belum dilaksanakan perusahan-perusahaan, khususnya yang mengambil untung dari sumber daya alam Indonesia.

"Konsep konservasi sebagai investasi jangka panjang ini baru sebatas drama. Baru sebatas semacam mantra yang banyak disampaikan oleh perusahaan," ucapnya.

Baca juga: Kolaborasi Tiga Kampus Ini Hasilkan Teknologi Filter Air Berbasis Nanomaterial

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
Krisis Air Bersih, KLH Kirim 10.000 Galon dan Alat Penjernih ke Aceh
Krisis Air Bersih, KLH Kirim 10.000 Galon dan Alat Penjernih ke Aceh
Pemerintah
Ahli Lingkungan Sebut Perubahan Iklim Langgar Hak Asasi Manusia
Ahli Lingkungan Sebut Perubahan Iklim Langgar Hak Asasi Manusia
Pemerintah
Pasar Inverter Surya Global Diprediksi Turun Selama Dua Tahun ke Depan
Pasar Inverter Surya Global Diprediksi Turun Selama Dua Tahun ke Depan
Swasta
Peneliti Ungkap Krisis Iklim Tentukan Nasib Tempat Tinggal Kita
Peneliti Ungkap Krisis Iklim Tentukan Nasib Tempat Tinggal Kita
Pemerintah
Kapasitas Produksi Etanol Masih Rendah,  Akademisi ITB Soroti Wacana BBM E10
Kapasitas Produksi Etanol Masih Rendah, Akademisi ITB Soroti Wacana BBM E10
Pemerintah
Siklon Tropis di Indonesia: Fenomena Langka dan Ancaman Nyata Akhir Tahun
Siklon Tropis di Indonesia: Fenomena Langka dan Ancaman Nyata Akhir Tahun
Pemerintah
Sampah Pemudik Capai 59.000 Ton, KLH Minta Pengelola Rest Area Olah Sendiri
Sampah Pemudik Capai 59.000 Ton, KLH Minta Pengelola Rest Area Olah Sendiri
Pemerintah
Genjot Transisi Energi, Jepang Siapkan Subsidi 1,34 Miliar Dollar AS
Genjot Transisi Energi, Jepang Siapkan Subsidi 1,34 Miliar Dollar AS
Pemerintah
Kemenhut Bersih-bersih Gelondongan Kayu Terbawa Arus Banjir di Sumatera
Kemenhut Bersih-bersih Gelondongan Kayu Terbawa Arus Banjir di Sumatera
Pemerintah
Guru Besar UGM: RI Mestinya Pajaki Minuman Berpemanis dan Beri Subsidi Makanan Sehat
Guru Besar UGM: RI Mestinya Pajaki Minuman Berpemanis dan Beri Subsidi Makanan Sehat
LSM/Figur
Lahan Gambut Dunia jadi Garis Depan Lawan Perubahan Iklim
Lahan Gambut Dunia jadi Garis Depan Lawan Perubahan Iklim
Pemerintah
Waspadai Potensi Hujan Lebat Disertai Angin Kencang dan Petir Selama Nataru
Waspadai Potensi Hujan Lebat Disertai Angin Kencang dan Petir Selama Nataru
Pemerintah
Cokelat Terancam Punah, Ilmuwan Temukan Alternatifnya
Cokelat Terancam Punah, Ilmuwan Temukan Alternatifnya
Pemerintah
Peneliti IPB Kembangkan Rompi Anti Peluru dari Limbah Sawit
Peneliti IPB Kembangkan Rompi Anti Peluru dari Limbah Sawit
Pemerintah
Biaya Perawatan Pasien Obesitas dengan Komorbid Membengkak Tiap Tahun
Biaya Perawatan Pasien Obesitas dengan Komorbid Membengkak Tiap Tahun
LSM/Figur
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Rp
Minimal apresiasi Rp 5.000
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau