KASUS yang menimpa salah satu perusahaan air minum baru-baru ini, membuka kembali perdebatan lama tentang dari mana sebenarnya air dalam botol yang kita minum berasal.
Selama puluhan tahun, masyarakat percaya bahwa air dalam kemasan itu bersumber dari mata air pegunungan — jernih, alami, dan terlindungi.
Namun, temuan lapangan oleh Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, menunjukkan bahwa air diambil bukan dari mata air yang mengalir di lereng gunung, melainkan dari sumur bor dalam di kawasan Subang.
Pihak perusahaan mengklarifikasi bahwa air yang mereka gunakan tetap berasal dari “akuifer pegunungan”, hanya saja diambil melalui pengeboran hingga kedalaman lebih dari 100 meter.
Klaim ini mungkin benar secara hidrogeologis — sebab air tanah dalam memang bisa terhubung dengan sistem pegunungan.
Baca juga: Merebut Kembali Hak Atas Air
Namun, cara pengambilannya menimbulkan pertanyaan etis dan ekologis: seberapa jauh kita boleh mengekstraksi air tanah untuk kepentingan industri, dan apakah itu masih bisa disebut “air pegunungan”?
Krisis iklim tidak hanya soal naiknya suhu dan mencairnya es di kutub. Di Indonesia, dampak paling nyata adalah perubahan pola curah hujan dan penurunan ketersediaan air bersih.
Musim kemarau semakin panjang, sementara hujan turun dalam waktu singkat, tapi sangat deras — menyebabkan banjir di musim basah dan kekeringan ekstrem di musim kering.
Dalam kondisi seperti ini, air tanah menjadi tumpuan terakhir bagi masyarakat. Ketika sungai dan waduk mengering, warga menggali lebih dalam untuk menemukan air.
Namun di saat yang sama, industri besar justru memompa air dari lapisan bawah bumi dalam volume besar.
Artinya, di tengah situasi iklim yang semakin tak pasti, air tanah — yang seharusnya menjadi “penyangga kehidupan” — justru dikuras habis untuk kepentingan komersial.
Eksploitasi air tanah dalam bukan hanya menguras cadangan ekologis, tetapi juga memperburuk dampak krisis iklim.
Ketika air tanah berkurang, tanah menjadi kering dan kehilangan kemampuan menahan air hujan. Akibatnya, limpasan permukaan meningkat dan risiko banjir pun bertambah.
Di kawasan pesisir, penurunan muka air tanah mempercepat intrusi air laut, memperparah kekeringan air tawar di wilayah dataran rendah.
Air adalah hak dasar, bukan komoditas. Konstitusi menegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya