Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Nofiyendri Sudiar
Dosen

Kepala Research Center for Climate Change (RCCC) sekaligus Koordinator Penanganan Perubahan Iklim SDGs Center Universitas Negeri Padang.

Air Pegunungan atau Air Tanah Dalam? Saatnya Kita Jujur

Kompas.com, 27 Oktober 2025, 10:12 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

KASUS yang menimpa salah satu perusahaan air minum baru-baru ini, membuka kembali perdebatan lama tentang dari mana sebenarnya air dalam botol yang kita minum berasal.

Selama puluhan tahun, masyarakat percaya bahwa air dalam kemasan itu bersumber dari mata air pegunungan — jernih, alami, dan terlindungi.

Namun, temuan lapangan oleh Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, menunjukkan bahwa air diambil bukan dari mata air yang mengalir di lereng gunung, melainkan dari sumur bor dalam di kawasan Subang.

Pihak perusahaan mengklarifikasi bahwa air yang mereka gunakan tetap berasal dari “akuifer pegunungan”, hanya saja diambil melalui pengeboran hingga kedalaman lebih dari 100 meter.

Klaim ini mungkin benar secara hidrogeologis — sebab air tanah dalam memang bisa terhubung dengan sistem pegunungan.

Baca juga: Merebut Kembali Hak Atas Air

Namun, cara pengambilannya menimbulkan pertanyaan etis dan ekologis: seberapa jauh kita boleh mengekstraksi air tanah untuk kepentingan industri, dan apakah itu masih bisa disebut “air pegunungan”?

Air tanah dan krisis iklim

Krisis iklim tidak hanya soal naiknya suhu dan mencairnya es di kutub. Di Indonesia, dampak paling nyata adalah perubahan pola curah hujan dan penurunan ketersediaan air bersih.

Musim kemarau semakin panjang, sementara hujan turun dalam waktu singkat, tapi sangat deras — menyebabkan banjir di musim basah dan kekeringan ekstrem di musim kering.

Dalam kondisi seperti ini, air tanah menjadi tumpuan terakhir bagi masyarakat. Ketika sungai dan waduk mengering, warga menggali lebih dalam untuk menemukan air.

Namun di saat yang sama, industri besar justru memompa air dari lapisan bawah bumi dalam volume besar.

Artinya, di tengah situasi iklim yang semakin tak pasti, air tanah — yang seharusnya menjadi “penyangga kehidupan” — justru dikuras habis untuk kepentingan komersial.

Eksploitasi air tanah dalam bukan hanya menguras cadangan ekologis, tetapi juga memperburuk dampak krisis iklim.

Ketika air tanah berkurang, tanah menjadi kering dan kehilangan kemampuan menahan air hujan. Akibatnya, limpasan permukaan meningkat dan risiko banjir pun bertambah.

Di kawasan pesisir, penurunan muka air tanah mempercepat intrusi air laut, memperparah kekeringan air tawar di wilayah dataran rendah.

Air adalah hak dasar, bukan komoditas. Konstitusi menegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

Halaman:

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
Investasi Energi Terbarukan Capai Rp 21,64 Triliun, REC Dinilai Bisa Percepat Balik Modal
Investasi Energi Terbarukan Capai Rp 21,64 Triliun, REC Dinilai Bisa Percepat Balik Modal
Pemerintah
PLTP Kamojang Hasilkan 1.326 GWh Listrik, Tekan Emisi 1,22 Juta Ton per Tahun
PLTP Kamojang Hasilkan 1.326 GWh Listrik, Tekan Emisi 1,22 Juta Ton per Tahun
BUMN
Pertamina EP Cepu Dorong Desa Sidorejo Jadi Sentra Pertanian Organik Blora
Pertamina EP Cepu Dorong Desa Sidorejo Jadi Sentra Pertanian Organik Blora
BUMN
Pergerakan Manusia Melampaui Total Migrasi Satwa Liar, Apa Dampaknya?
Pergerakan Manusia Melampaui Total Migrasi Satwa Liar, Apa Dampaknya?
Pemerintah
Tambang Batu Bara Bekas Masih Lepaskan Karbon, Studi Ungkap
Tambang Batu Bara Bekas Masih Lepaskan Karbon, Studi Ungkap
Pemerintah
KKP Pastikan Udang RI Bebas Radioaktif, Kini Ekspor Lagi ke AS
KKP Pastikan Udang RI Bebas Radioaktif, Kini Ekspor Lagi ke AS
Pemerintah
Sampah Plastik “Berlayar” ke Samudra Hindia dan Afrika, Ini Penjelasan Peneliti BRIN
Sampah Plastik “Berlayar” ke Samudra Hindia dan Afrika, Ini Penjelasan Peneliti BRIN
Pemerintah
75 Persen Hiu Paus di Papua Punya Luka, Tunjukkan Besarnya Ancaman yang Dihadapinya
75 Persen Hiu Paus di Papua Punya Luka, Tunjukkan Besarnya Ancaman yang Dihadapinya
LSM/Figur
Jangan Sia-siakan Investasi Hijau China, Kunci Transisi Energi Indonesia Ada di Sini
Jangan Sia-siakan Investasi Hijau China, Kunci Transisi Energi Indonesia Ada di Sini
Pemerintah
Eropa Sepakat Target Iklim 2040, tapi Ambisinya Melemah, Minta Kelonggaran
Eropa Sepakat Target Iklim 2040, tapi Ambisinya Melemah, Minta Kelonggaran
Pemerintah
Human Initiative Gelar Forum Kolaborasi Multipihak untuk Percepatan SDGs
Human Initiative Gelar Forum Kolaborasi Multipihak untuk Percepatan SDGs
Advertorial
Batu Bara Sudah Tidak Cuan, Terus Bergantung Padanya Sama Saja Bunuh Diri Perlahan
Batu Bara Sudah Tidak Cuan, Terus Bergantung Padanya Sama Saja Bunuh Diri Perlahan
Pemerintah
Kisah Nur Wahida Tekuni Songket hingga Raup Cuan di Mancanegara
Kisah Nur Wahida Tekuni Songket hingga Raup Cuan di Mancanegara
LSM/Figur
Startup Biodiversitas Tarik Investor Beragam, Namun Raih Modal Kecil
Startup Biodiversitas Tarik Investor Beragam, Namun Raih Modal Kecil
Pemerintah
FAO Peringatkan Degradasi Lahan Ancam Miliaran Orang
FAO Peringatkan Degradasi Lahan Ancam Miliaran Orang
Pemerintah
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau