KOMPAS.com - Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) mengidentifikasi pembukaan hutan di Aceh untuk perkebunan sawit dan pertambangan ilegal. Hal tersebut meningkatkan risiko bencana hidrometeorologi di Aceh.
Menteri Lingkungan Hidup, Hanif Faisol Nurofiq mengatakan, aktivitas tersebut terjadi di lereng bukit dengan tingkat kemiringan ekstrem di atas 45 derajat, Pesisir Timur Aceh dengan lintasan Tusam, Lhokseumawe, Langsa, dan Aceh Tamiang.
Baca juga:
"Praktik ini secara nyata menghilangkan fungsi hutan sebagai pengendali tata air alami, dan meningkatkan risiko bencana hidrometeorologi," ujar Hanif dalam keterangannya, Senin (15/12/2025).
Hal itu diketahui usai dirinya meninjau langsung dampak parah banjir bandang di Aceh Timur melalui udara menggunakan helikopter.
Hanif menegaskan, pengelolaan lahan di kawasan dengan kemiringan ekstrem sangat berbahaya dan bertentangan dengan prinsip perlindungan lingkungan hidup.
Praktik ilegal tersebut tak hanya menyebabkan kerusakan hutan dan lahan, tapi juga mengancam nyawa masyarakat yang tinggal di wilayah hilir.
"Tidak ada toleransi bagi pelanggaran yang merusak lingkungan dan membahayakan rakyat. Siapa pun yang terbukti melanggar, akan kami tindak tegas sesuai hukum yang berlaku," jelas dia.
Baca juga:
Tumpukan kayu yang terbawa banjir dan longsor di Pondok Pesantren Darul Mukhlisin, Aceh Tamiang, masih belum dievakuasi, Jumat (13/12/2025).Menindaklanjuti temuan kebun sawit dan tambang ilegal, KLH lantas mengevaluasi secara menyeluruh dampak kerusakan hutan dan lahan di area terdampak.
Evaluasi tersbeut mencakup penilaian kondisi hutan, daerah aliran sungai (DAS), dan perubahan tata guna lahan yang terbukti berkontribusi terhadap meningkatnya risiko bencana.
KLH memastikan sejumlah korporasi yang diduga kuat berkontribusi terhadap kerusakan akan ditindak tegas melalui upaya paksa penegakan hukum.
"Kami datang bukan hanya untuk melihat, tetapi untuk memastikan negara benar-benar hadir bagi masyarakat yang terdampak. Keselamatan rakyat adalah yang utama, dan lingkungan yang rusak tidak boleh terus dibiarkan," ucap Hanif.
Ia menambahkan, saat ini bentang alam Aceh terdegradasi parah. Kawasan hulu yang seharusnya menjadi penyangga ekosistem saat ini tampak terbuka, alur sungai melebar tidak wajar, dengan jejak longsoran tanah mengarah langsung ke permukiman.
Artinya, banjir bandang di Aceh bukan hanya peristiwa alam melainkan sinyal adanya tekanan serius terhadap daya dukung lingkungan akibat aktivitas ilegal.
Baca juga:
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya